Oleh : Orin Basuki dan BM Lukita Grahadyarini
Tanggal 4 September 2007 adalah masa paling kelam bagi PT Dirgantara Indonesia atau PT DI . Industri strategis ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT DI dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun serta jaminan hari tua kepada eks karyawannya yang diberhentikan sejak 2003.
Dengan keputusan itu, otomatis tidak ada lagi kegiatan produksi di perusahaan itu. Padahal, dua hari sejak tanggal pemailitan, kabarnya, mereka akan menandatangani nota kesepahaman dengan Merpati Nusantara Airlines (MNA), tentang pembelian 10 unit pesawat CASA 212-400.
Itu berarti ada penerimaan riil bagi perusahaan yang dibangun di masa Orde Baru ini. Pendapatan riil berarti nyawa bagi pabrik pesawat yang dipelopori BJ Habibie ini.
Apa mau dikata. Saat itu, PT DI berada di titik terbawah. Luka akibat pemailitan masih terasa hingga saat ini. Namun, upaya tetap bertahan hidup tetap dilakukan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah merealisasikan nota kesepahaman dengan MNA pada 28 Januari 2008. Harapan pun mulai ada di depan mata.
Pemesanan 10 CASA 212 seri 400 bernilai 60 juta dollar AS merupakan suntikan dana yang lumayan bagi PT DI. Ini seolah tambahan nyawa bagi perusahaan yang dirundung malang sejak krisis ekonomi mendera Indonesia tahun 1998.
NC-212-200 Merpati Airlines di Sam Ratulangi, Manado.
Seluruh pesanan pesawat baru selesai diproduksi 2009. Akan tetapi, hal itu seolah menjadi sinyal bahwa PT DI tak perlu ”mati”.
Seperti diungkapkan Direktur Utama PT DI Budi Santoso, tahun 2008 belum ada produksi pesawat besar-besaran, karena perusahaan ini baru mulai merangkak setelah dipailitkan. Setahun ini fokus untuk menghimpun pesanan sebanyak mungkin. Diharapkan, kepercayaan pembeli pulih setelah MNA memesan 20 pesawat penumpang.
”Kami akan mempercantik perusahaan. Tidak mungkin menawarkan sesuatu jika kondisinya masih acak-acakan,” ujarnya.
Sembari menunggu produksi dalam volume besar, PT DI masih memiliki beberapa kontrak yang lebih dari cukup untuk menyambung hidup. Mereka masih melayani pembuatan komponen pesawat dari dua produsen bus udara terbesar di dunia, yaitu Airbus dan Boeing.
Kapasitas produksi komponen untuk kedua perusahaan itu baru 30 komponen per bulan. Padahal permintaannya 46-50 komponen per bulan.
NC-212 TNI-AU di bandara Adisucipto, Yogyakarta.
Selain itu, ada penawaran kepada investor dalam negeri, yakni TNI Angkatan Laut, yang tengah berupaya memperkuat armada patrolinya. Mereka ditawari pesawat patroli jenis terbaru, gabungan dari CASA 212 dan CN 235. Nilai jualnya pun tinggi, sekitar 30 juta dollar AS per unit.
”Kalau diminta membuat satu unit, kami akan memulai dari satu unit. Tetapi kalau diminta 10 unit, kami siap memulai 10 unit dari sekarang. Satu unitnya perlu waktu pembuatan 18 bulan, tidak ada yang bisa dibuat dalam setahun. Kami harap keputusan dari TNI AL bisa diperoleh dalam waktu dekat,” ujar Budi.
Dukungan CASA
Dari pesanan yang diterima, maka sebagai sebuah industri, PT DI masih punya masa depan. Apalagi setelah mendapat dukungan dari CASA yang bermarkas di Spanyol. CASA dengan sukarela memindahkan pabriknya ke Indonesia. CASA berharap dapat mengembangkan industri penerbangan di kawasan regional.
Dengan kerja sama ini, PT DI tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi. CASA telah memasukkan seluruh perlengkapan pabrik pembuatan pesawatnya dalam kontainer saat ini, dan siap dikirim ke Indonesia. Nantinya, seluruh produksi CASA akan dialihkan ke Indonesia.
CASA bisa tetap hidup tanpa dibebani ongkos tenaga kerja di Eropa yang melonjak akibat menguatkan nilai tukar euro terhadap dollar AS. Padahal, penerimaan yang diterima CASA dari penjualan pesawatnya berupa dollar AS.
Melalui kerja sama dengan PT DI, setiap pesawat yang diproduksi akan dibuat oleh tenaga kerja Indonesia, yang relatif lebih murah dibanding tenaga kerja di Eropa.
”Kami akan memperoleh pendapatan sekitar 20 persen dari setiap pesawat yang terjual,” ujar Budi.
Kerja sama ini diharapkan dapat memperluas area penjualan pesawat hasil kerja sama PT DI dan CASA, antara lain pasar Amerika Selatan dan Asia.
EADS/Casa C212-400 variant patroli maritim AL Argentina
EADS/Casa C212-400 variant angkut personel AU Portugal
PT DI sudah menawarkan pesawat CASA 212 ke Thailand. CASA 212 adalah salah satu varian pesawat yang dibuat sebagai hasil kerja sama PT DI dan CASA.
Pasar di dalam negeri pun menjanjikan. Kebutuhan pengadaan pesawat sejenis CASA 212 mencapai 50 unit. Menurut Direktur Utama MNA Hotasi Nababan, diperlukan pesawat kecil untuk menembus kawasan terpencil yang belum tersentuh maskapai penerbangan.
Sebanyak 10 pesawat pesanan MNA itu akan digunakan untuk menembus daerah-daerah terpencil di Kalimantan, Sumatera, dan kawasan Indonesia timur.
”Kami baru memiliki 22 pesawat bermesin jet dan 15 pesawat berbaling-baling. Kami akan menggantikan pesawat lama jika yang baru selesai,” katanya.
Masalah utama
Biarpun pasar sudah terbuka, kemampuan PT DI untuk mengejar kontrak masih terbatas. Mesin produksi yang menjadi andalan mereka saat ini masih jauh dari memadai. Mesin terbaru yang dimiliki buatan 1992 bahkan ada yang usianya 20 tahun. Idealnya, mesin yang sudah berusia 14 tahun harus diganti.
Penggantian mesin produksi PT DI sepenuhnya tergantung pada keputusan DPR. Lembaga perwakilan rakyat inilah yang akan menetapkan kapan langkah-langkah penyehatan PT DI dilakukan. Pemerintah sudah mengusulkan penjualan sebagian saham milik pemerintah kepada investor strategis. Namun, ini tergantung persetujuan DPR.
PT DI sudah menerima pernyataan minat dari dua perusahaan asing, yaitu dari Eropa dan Asia, yang bersedia menjadi rekanan strategis untuk membangun kembali perusahaan tersebut.
”Jika izin diberikan dalam waktu dekat, kami optimistis PT DI bisa pulih, dan menjadi besar kembali dalam tiga tahun mendatang,” tutur Budi.
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan A Djalil menegaskan, industri penerbangan PT DI akan dikembangkan menuju dua arah, yakni penerbangan komersial dan pertahanan. Privatisasi yang dilakukan diarahkan untuk memperkuat basis produksi pesawat komersial PT DI. Sedangkan industri pertahanannya tetap diawasi pemerintah.
PT DI pun tetap memiliki hak hidup, karena masih sangat bernilai. Pendapatannya masih bisa mencapai rata-rata 100 juta dollar AS per tahun, dan keuntungan bersihnya rata-rata Rp 30 miliar per tahun.
Tahun 2007, sudah ada kontrak perawatan 15 pesawat Boeing jenis 737 seri 200, 300, dan 400 dari maskapai dalam negeri, antara lain Adam Air, RPX Airlines, dan Batavia Air senilai Rp 80 miliar. Kontrak dengan TNI Angkatan Udara untuk membuat satu pesawat senilai 27 juta dollar AS dan helikopter senilai 7 juta dollar AS.
PT DI juga memiliki kontrak untuk perawatan dan modifikasi pesawat, antara lain dari Turki, Pakistan, dan Iran. Nilai kontraknya sekitar 300 juta dollar AS, meliputi pengadaan komponen, peralatan, dan pembuatan pesawat CN-235 dan CASA 212-400. Perusahaan ini juga masih menghidupi 3.600 karyawan.
Mulai 24 Oktober 2007, status pemailitan PT DI dimentahkan Mahkamah Agung. Mungkin ini bisa menjadi batu loncatan untuk memulai lembaran baru menghidupkan industri penerbangan dalam negeri.
Sumber : KOMPAS