Tuesday, August 04, 2009

Pertahanan Dalam Anggaran



JAKARTA - Anggaran sektor pertahanan naik, walaupun terlalu sedikit. Untuk tahun depan sektor yang amat strategis, tetapi terus dianaktirikan, ini memperoleh alokasi anggaran Rp.40,7 triliun.

Komitmen yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam nota keuangan 2010 di depan Sidang Paripurna DPR, Senin(3/8) kemarin di Senayan, Jakarta. Masih terlalu kecil, jika dibandingkan dengan anggaran 2009 yang cuma Rp35,5 triliun, penaikan itu berarti cuma Rp5,2 triliun.

Walaupun penaikan itu mengangkat sektor pertahanan ke posisi kedua di bawah Departemen Pendidikan (Rp52 triliun), tetap saja tidak memadai. Simak kenyataan berikut.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang di dunia. Lebih dari separuh alutsista sudah tidak layak pakai.

Pertahanan dibebani tugas sebagai penjaga kedaulatan yang menjadi nyawa eksistensi negara dan bangsa. Ruang lingkup sektor pertahanan yang begitu besar dan vital menyebabkan Departemen Pertahanan mengajukan kebutuhan minimum anggaran Rp100 triliun.

Mengapa negara tetap saja pelit merealisasi kebutuhan pertahanan?
Mungkin ini adalah warisan masa lalu. Di era Presiden Soeharto, militer tidak diberi keleluasaan anggaran karena dikompensasi dengan kekuasaan di bidang politik.

Asumsinya, dan ternyata benar, bila kekuasaan di tangan, rezeki mengalir.
Sekarang, di era reformasi, kekuasaan politik di tangan militer tidak ada lagi. Karena itu, rezeki pun berhenti mengalir ke sana. Reformasi telah membuat kita mengunci militer di barak. Reformasi sesungguhnya berisi pesan tentang optimalisasi fungsi, bukan pemenjaraan.

Banyak pesawat militer yang jatuh belakangan ini harus diakui disebabkan pemenjaraan kita terhadap militer. Mereka dibebani dengan persenjataan tua, tetapi dengan anggaran cekak.

Setelah kekuasaan politik dilucuti dari militer, kompensasinya adalah pengucuran anggaran yang memadai untuk fungsionalisasi mereka. Kalau tidak maksimal, penuhilah yang minimal. Yang dicukupi sekarang hanya kurang dari separuh yang minimal itu.
Bila tentara tidak pernah berperang, bukan berarti mereka tidak berguna dan karena itu harus disengsarakan. Banyak pesawat militer yang jatuh disebabkan kurangnya latihan terbang para pilotnya karena anggaran yang tidak memadai.

Pikiran bahwa mengucurkan anggaran besar ke militer/pertahanan adalah pemborosan haruslah dibuang jauh-jauh. Tidak ada yang lebih bernilai dari sebuah bangsa dan negara selain kedaulatan. Bila kedaulatan hilang, tidak ada gunanya kekayaan yang dimiliki sebuah negara.

Memperkuat pertahanan, khususnya sistem persenjataan, tidak cuma buang-buang ongkos. Sadarkah kita bahwa pencurian ikan di laut, penyelundupan kayu dari hutan-hutan dan bahan tambang seperti pasir besi dan timah yang merebak sampai hari ini disebabkan kelemahan sistem persenjataan?

Setiap tahun potensi kerugian dari pencurian ikan di laut oleh nelayan asing mencapai Rp30 triliun. Jumlah yang sama diperkirakan terjadi di sektor pembalakan liar dan penyelundupan lainnya seperti bahan tambang, BBM, dan kebutuhan perdagangan lainnya.
Jadi, mengalokasikan anggaran secara benar dan memadai untuk pertahanan tidaklah pemborosan. Namun, penghematan uang dan penyelamatan terhadap kedaulatan.

Karena itu, perlu dilakukan perubahan paradigma orientasi kemiliteran kita. TNI harus lebih mementingkan kinerja dan prestasi di laut daripada di darat. Karena di sanalah sumber penghematan, revenue, dan kedaulatan.

Sumber : MEDIAINDONESIA.COM

No comments: