Prajurit Cacat Bangun Hidup Baru
Tentara dikenal sebagai kalangan yang bertubuh sehat, tegap dan dalam kondisi prima. Kesempurnaan ini sepertinya dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tentara sebagai alat pertahanan negara yang terjun ke medan tempur. Apa jadinya kalau mereka cacat? Bagaimana nasib, kehidupan, karir mereka kelak?
Udara terasa panas di siang bolong hari itu. Teriknya matahari seperti membakar kulit. Hadi Suyatno terlihat lincah mengejar bola, meski sembari duduk di atas kursi roda.
Bernasib naas
Yatno seorang tentara, pangkatnya Sersan Dua. Ia berkursi roda sejak 13 tahun lalu. Kaki kanannya diamputasi mulai dari pangkal paha.
Suyatno: Saya kena tahun 1994 di Cakung Jakarta Timur, waktu disposal bahan peledak. Kejadian itu tangal empat bulan empat jam empat, tahun 2004. Kejadian itu dua jam sebelum buka puasa. Kita operasi keliling Indonesia degan kapal laut untuk mengambili peluru kadaluwarsa di daerah-daerah terpencil. Kita pilah peluru yang masih layak pakai atau kadaluwarsa, yang sudah tak bisa dipakai dikumpulkan kembali untuk diledakkan.
Namun nahas bagi Yatno. Hari itu, 20 roket sebesar kaki orang dewasa yang tengah ia tumpuk, mendadak.. blaaar! meledak.
Suyatno: Jadi 20 peluru sebesar kaki meledak di bawah kaki saya. Roket 57 Rusia. Dalam kondisi itu, saya bisa merasakan sakit, sebab saya tak pingsan sampai dibawa ke rumah sakit. Jadi saya merasakan betul sakitnya.
Penyembuhan butuh waktu cukup lama, terutama mengatasi beban psikologisnya. Trauma, minder, rendah diri, bahkan frustasi menjadi bagian proses penyembuhan yang paling sulit. Semua dilawan.
Dukungan keluarga, rekan dan lingkungan membuatnya merasa kembali hidup. Semangatnya pulih, meski kini tubuhnya tak lengkap lagi. Bahkan hingga kini, dua lempengan tembaga dari roket yang meledak itu masih tertanam di batang otaknya.
Suyatno: Ini udah pen semua. Masih ada dua lèmpèngan tembaga di otak saya, tapi kalau diambil akan merusak organ mata, bisa buta saya. Kumat sewaktu-waktu, sakit. Tapi saya udah tahu selahnya. Pakai air saja dikucurkan di kepala. Saya takut kena petir, sebab ini tembaga. Takut kesambar petir.
Berarti
Setelah mengalami cacat, hidup Yatno berubah. Tapi ia tetap ingin memberi arti lebih bagi diri, lingkungan dan bangsanya.
Suyatno: Profesi lain, atlet tennis kursi roda sudah juara nasional, setingkat PON, 2004 kemarin, Porcanas di Palembang, single dapet perak double emas. Terakhir SEA Games Filipina ASEAN PARA GAMES, perunggu bersama rekannya. Sebelumnya Singapur open beberapa tahun berturut-turut. Kejurnas Perpari Cup, Pusrehabcat.
Sehari-hari ia bekerja sebagai Kepala Gudang di Pusat Rehabilitasi Cacat atau Pusrehabcat, Departemen Pertahanan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Di tempat inilah, para tentara yang mengalami cacat, baik akibat perang maupun dalam tugas seperti Suyatno, dikumpulkan, dilatih, diberi keterampilan sehingga bisa mandiri sebagai bekal masa depannya kelak.
Pusrehabcat
Pusat Rehabilitasi Cacat, Pusrehabcat, yang berdiri sejak 1968 adalah tempat pemulihan kondisi fisik dan kejiwaan bagi anggota TNI yang cacat. Tempat rehabilitasi ini memiliki instruktur dan sarana yang sangat lengkap, dari pembuatan kaki palsu hingga sarana dan prasarana yang mendukung pemulihan kondisi para prajurit. Mereka juga dibekali berbagai keterampilan seperti elektronika, komputer, perbengkelan dan lain-lain. Keterampilan ini sebagai bekal bagi para prajurit untuk merajut masa depannya kembali.
Kepala Pusrehabcat, Dwi Juwono.
Dwi Juwono: Kita menyediakan 14 kecabangan, sifatnya banyak digunakan di masyarakat. Jadi berkembang terus untuk mengadopsi perkembangan kekinian, misalnya cabang HP, karena kemungkinannya bagus bagi penca untuk berkiprah di luar. Komputer, menyusun LAN, jadi tak hanya sekedar tahu mengoperasikan komputer tapi juga tahu menyusun perangkat kerasnya.
Setiap tahun Pusrehabcat mengundang para anggota TNI yang cacat dari berbagai kesatuan untuk mengikuti pendidikan di sini.
Dwi Juwono: Sebelum mulai pendidikan, kita jajaki kemampuan fisik, minat dan ketersediaan jurusan. Orang bisa pilih ke otomotif, tapi kalau tak punya tangan kaki tak bisa. Lalu dipadukan dengan keinginan, dan ketersdiaan di daerah dia tinggal sesuai gak? gak mungkin teknik komputer kita arahkan untuk orang yang tinggal di pelosok.
Tentara-tentara yang cacat diseleksi dulu sebelum masuk Pusrehabcat. Sejumlah dokter dan ahli dari berbagai disiplin ilmu berkumpul menjadi tim penilai. Mereka menilai penggolongan cacat, kesehatan, fisik dan yang paling utama, kondisi psikologis si calon.
Dwi Juwono: Tapi psikologi menjadi penting sebab bagi beberapa orang cacat, psikologi, traumatik sering tak diduga. Pada kasus akut masih banyak terjadi.
Pensiun
Kepala Pusrehabcat TNI, Dwi Juwono mengatakan, setiap tahun institusinya menampung 80 siswa. Setengahnya merupakan tentara cacat ringan. Setengahnya lagi, cacatnya sedang dan berat. Umumnya, golongan cacat ringan masih bisa aktif menjadi tentara, sebab kondisi fisik mereka masih baik, umumnya. Namun mereka tak diperkenankan bertempur kembali. Sedangkan golongan cacat sedang dan berat hampir pasti segera dipensiunkan. Secara fisik mereka sudah tak mampu lagi bekerja.
Pensiun atau non aktif dari kesatuan tempur jelas merupakan momok. Apalagi bagi mereka yang masih tunas muda dan tengah merentas karir. Bagi tentara, Pusrehabcat ibarat tempat mereka mengubur karir.
Kepala Bagian Latihan Kerja Pusrehabcat, Bambang PHS.
Bambang PHS: Yang mereka tak pahami kalau masuk pusrehabcat biasanya pensiun. Padahal tidak! Namun sekarang memang sedang digodok soal aturan pensiun. Mungkin nanti akan ada tunjangan cacat setelah pensiun, mungkin 150 persen gaji saat aktif.
Sebaliknya, Pusrehabcat mesti dilihat sebagai sarana balas budi negara bagi pengorbanan tentara.
Bambang PHS: Di sini diharapkan mereka disiapkan untuk mandiri, punya usaha sendiri. Memimpin atau mengatur usahanya. Kalau syukur bisa merekrut pegawai, tapi kalau kembali ke kesatuan mereka sesuai dengan tugas di kesatuan mereka.
Kisah Rahim
Manfaat itu diakui Abdul Rahim. Letnan Satu Infanteri yang bertugas di Kodam VI Tanjungpura itu cacat lengan kirinya. Itu terjadi ketika terjun dalam operasi Timor Timur pada 1993.
Abdul Rahim: Saya cacat waktu operasi Timtim 1993. kesatuan batalyon infanteri 726 kodam VII Wirabuana di Makassar. Saya kena tembak di punggung sebelah kiri. Waktu itu penyergapan kelompok GPK pimpinan Ernesto. Kontak senjata di tengah perjalanan. Tulang terkikis, sehingga tangan beberapa bulan tak bisa lurus, sebab tepat di pusat persendian. Mengalami operasi empat kali. Sekarang sudah lumayan normal.
Di Pusrehabcat ia mengambil keterampilan fotografi. Cita-citanya, ingin membuat studio foto di lingkungan tempat tinggalnya.
Abdul Rahim: Untuk ke depan, saya sebagai perwira untuk tugas tetap masih di kesatuan. Tapi saya akan buka semacam studio, sebab keterampilan ini bagus untuk di tempat saya. Mungkin untuk pelaksanaannya saya manajemen saja. pelaksanaan teknis keluarga atau oragn lain yang saya bina sebelumnya.
Kursus
Ada 14 kursus keahlian yang disediakan Pusrehabcat Dephan. Salah satu andalannya adalah kursus pertanian terpadu. Siswantoro, salah satu siswa kursus itu, mengajak saya melihat-lihat hasil pelatihannya.
Siswantoro: Saya ambil jurusan pertanian terpadu. Belajar pertanian peternakan perikanan. Ayam boiler, ayam kampung, sama bebek. Perikanan ikan lele, patin nila mujair dan kemarin pemantapan di Sukabuimi di balai penelitian ikan nilai dan lele.
Siwantoro kini berusia 44 tahun. Ia sempat lumpuh dan kakinya mengecil sebelah akibat penyempitan pembuluh darah tulang belakang. Itu karena jatuh dalam keadaan duduk saat ia berlatih tempur di gunung Salak, Sukabumi, 20 tahun silam. Kini kesehatannya telah pulih, meski tak 100%.
Siswantoro: Pensiun saya mau pulang kampung kembangkan ilmu yang saya dapat di sini. Sebab saya punya tempat pekarangan untuk kembangkan peternakan. Saya di Lumajang, umumnya peternakan dan pertanian.
Lain lagi dengan Hendrikus. Prajurit dari Brigade Infanteri IX Kostrad itu memilih jalur musik. Ia mengambil spesialisasi organ.
Hendrikus: Saya pilih organ. Kita harus mengenal cara mainnya, dasar nada kita juga harus tahu, mengenal not balok, programnya kita kuasai dulu. Sekarang sudah bisa bergabung dengan group luar, main dangdut di Jakarta mau pun Serang, Banten sudah sering gabung. Kita sudah pentas di pangung terbuka.
Ia tetap pilih organ, meski kelingking kirinya putus, saat operasi tempur di Timor Timur tahun 1993.
Hendrikus: Meski kelingking hilang yang penting jari kanan lengkap sebab itu untuk main melodi. Beda cerita kalau yang hilang kelingking kanan.
Abdul Rahim, Hendrikus, Siswantoro dan Suyatno, paham benar tugas dan resiko seorang prajurit. Menyandang cacat dan tak lagi bertempur di medan perang jelas bukan keinginan mereka. Namun mereka sadar, hidup harus tetap berlanjut.
Dari mereka, barangkali kita bisa belajar untuk lebih menghargai hidup.
Suyatno: Untuk yang cacat, jangan merasa diri kita cacat, lantas minta dikasihani. Yang non cacat juga jangan pernah mengasihani yang cacat, tapi beri semangat motivasi agar si cacat bisa mandiri. Kita harus iklas dulu, ini kehendak Tuhan, takdir, tapi kita harus tetap semangat. Tuhan boleh mengambil kaki saya tapi tuhan tak akan megambil hati dan semangat saya.
Sumber
No comments:
Post a Comment