Perjalanan KRI Cakra-401 & Nanggala-402 (I)
KRI Cakra-401
Kehadiran kapal selam buatan Jerman pada 19 Maret 1981 seolah menuntaskan dahaga TNI AL akan kebutuhan kapal selam diesel elektrik modern (SSK) sebagai pengganti armada kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet yang di scrap karena ketiadaan suku cadang akibat putusnya hubungan diplomatik pasca pemberontakan Komunis 1965.
Tahun 1967 Kieler Howaldtswerke Shipyard (sekarang Howaldtswerke-Deutsche Werft AG) mengembangkan secara khusus kapal selam berorientasi ekspor berkode “Type-209” (kelas 209), inilah tonggak bersejarah kesuksesan Jerman dalam menghasilkan kapal selam generasi ketiganya. Meskipun tidak dioperasikan oleh Volksmarine (AL Jerman), kapal ini sukses diekspor ke 13 negara dengan lebih dari 60 kapal yang berhasil dibangun.
Rancangan kapal selam kelas 209 di dasarkan pada kapal selam kelas 206, dengan tambahan peralatan dan perangkat terbaru didalamnya. Konstruksi kapal menggunakan lambung tunggal (single-hull) untuk mempermudah tata letak (lay-out) kompartemen kapal.
Ruang kendali tempat Komandan kapal berada memberikan fleksibilitas pandangan periscope kekeseluruhan kapal mulai dari haluan tempat peluncur torpedo, hingga buritan tempat mesin diesel dan memantau situasi kondisi permukaan.
Pada awal 1970-an banyak negara pengguna kapal selam merasa perlu mengganti kapal selam diesel (SSK) era perang dunia II-nya yang masih digunakan, seperti : kapal selam GUPPY Amerika Serikat dan Transferred postwar Inggris. Tahun itu beberapa desain kapal banyak ditawarkan di pasar ekspor, namun ada kelemahan pada bentuk kapal yang terlalu besar, harga yang mahal dan banyak kapal hanya dirancang untuk kondisi perairan dingin.
Keputusan Memilih Kapal Selam TNI AL
Keputusan TNI AL memilih kapal selam kelas 209 pada 1977, tak lepas dari tuntutan strategis akan kebutuhan sosok kapal selam berkemampuan jelajah samudera dengan kelengkapan sensor dan senjata yang modern serta kecocokan dioperasikan di perairan dangkal (littoral).
Berbeda dengan kapal perang permukaan yang jumlahnya lebih dari 50 kapal saat itu, TNI AL belum memiliki satupun kapal selam pengganti 12 kapal kelas Whiskey yang memperkuat RI hingga akhir dekade tahun 1960an.
Berdasarkan spesifikasi kebutuhan TNI AL, Angkatan Bersenjata (ABRI) waktu itu mulai mencari dan memilah dari negara mana kapal selam diadakan. Kebutuhan TNI AL sendiri saat itu lebih dari 2 unit kapal selam, namun dengan pertimbangan biaya maka diputuskan untuk hanya membeli 2 unit.
Pemerintah Indonesia Pada 1997 pernah berencana membeli tambahan lima kapal selam Type 206 eks Jerman Timur (buatan tahun 1969-1975), diantaranya U-13, U-14, U-19, U-20, dan U-21.
Kapal selam Type-206
Khusus kapal eks U-20 semula akan dijadikan sebagai sumber suku cadang. Dua unit kapal dibayar lunas, yakni U-13 untuk KRI Nagarangsang-403 dan U-14 untuk KRI Nagabanda-404. Namun akibat krisis keuangan regional tahun 1998 pembelian kapal selam eks Jerman Timur Tipe 206 ini dibatalkan, dan uang yang sudah dibayarkan dikonversikan untuk pengadaan korvet Parchim.
Saat memilih kapal selam banyak opsi ditawarkan ke Indonesia, namun TNI AL terlanjur kepincut mengakuisisi kapal selam Type-209 Jerman yang terkenal laris dipasar ekspor. Apalagi hubungan Indonesia dan Jerman sedang manis-manisnya kala itu, terutama dalam hal kerjasama teknologi dan industri.
Pilihan Indonesia pada kapal selam buatan Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) Kiel dianggap sesuai dengan tuntutan strategis TNI AL.
Sampai dengan tahun 1980 HDW telah memasarkan 22 unit kapal selam jenis ini dalam berbagai varian ke delapan negara Eropa dan Amerika Selatan tanpa satu komplain pun dari pemakai.
U-209 menjadi kapal selam terlaris di dunia dengan jumlah penjualan 64 unit dan dioperasikan oleh 14 negara, antara lain di Eropa (3 negara), Amerika Latin (7 negara), Asia (3 negara) dan Afrika (1 negara). Serta melisensi pembuatannya ke lebih dari 3 negara, seperti Mazagon India dan Daewoo Korea.©alutsista
Bersambung...
No comments:
Post a Comment