Wednesday, June 18, 2008

Latihan Gabungan TNI dan Kedaulatan Negara



LATIHAN Gabungan TNI pada 1-20 Juni 2008 menyuguhkan fakta yang membanggakan sekaligus memprihatinkan. Membanggakan karena di tengah segala keterbatasan, prajurit TNI tetap memperlihatkan semangat dan profesionalismenya menjaga dan mengawal Tanah Air.

Namun, latihan gabungan itu juga menghadirkan keprihatinan. Bahwa setelah 12 tahun, untuk pertama kalinya lagi TNI melakukan latihan gabungan yang melibatkan sekitar 30 ribu personel dari ketiga angkatan.

Sebuah rentang waktu yang sangat panjang yang mestinya menyentak anak bangsa. Normalnya, latihan serupa dilakukan antara tiga hingga lima tahun sekali. Bahkan, bagi negara seperti Indonesia yang berupa kepulauan, bukan kontinental, idealnya latihan itu setiap setahun atau dua tahun sekali.

Memang, sudah lama pembangunan kekuatan militer terabaikan. Fokus perhatian negara, terutama dilihat dari politik anggaran belanja negara, lebih terarah kepada ekonomi. Padahal, kekuatan ekonomi dan kekuatan militer menjadi unsur utama sebuah negara dihargai dan dihormati negara lain.

Melalui dua kekuatan itulah sebuah negara memiliki bargaining power ketika berhadapan dengan negara lain atau dalam forum-forum diplomasi.

Dalam konteks itulah, bukan tidak mungkin ada unsur kesengajaan negara lain yang ingin membonsai kekuatan militer Indonesia melalui bahasa utang dan pelanggaran HAM. Berdasarkan yang terakhir ini negara adidaya Amerika Serikat, misalnya, menghentikan pemberian bantuan pendidikan militer dan penjualan suku cadang peralatan tempur.

Namun, fakta memang memperlihatkan alokasi anggaran pertahanan tergolong rendah. Dalam APBN 2008, misalnya, anggaran pertahanan hanya Rp36 triliun atau kurang dari 1% produk domestik bruto (PDB). Padahal, negara-negara lain menganggarkan sekitar 3%-4% dari PDB.

Itu sebabnya, Indonesia belum bisa memiliki perangkat militer yang memadai. Jangankan membeli sistem pertahanan baru, memelihara yang ada saja tidak mampu. Tidak mengherankan bila banyak unsur dari sistem alat persenjataan utama sudah tidak layak beroperasi.

Berdasarkan data CIA World Factbook 2008, jumlah tentara Indonesia hanya 302 ribu personel dari total penduduk sekitar 240 juta orang. Bandingkan dengan Thailand, menurut sumber yang sama, yang mempunyai 306 ribu anggota militer dari total penduduk sebanyak 64 juta orang.

Artinya, kalau di Thailand ada satu tentara untuk setiap 200 penduduk, di Indonesia satu prajurit untuk setiap 800 ribu penduduk.

Fakta lain lebih merisaukan. Menurut CIA World Factbook, Indonesia memiliki 613 pesawat tempur dan 121 kapal perang. Bila setengahnya saja yang layak beroperasi, artinya Indonesia hanya memiliki 60 kapal perang.

Padahal, luas lautan Indonesia, termasuk zona ekonomi eksklusif, mencapai 7,9 juta kilometer persegi. Artinya untuk menjaga perairan seluas Pulau Jawa, TNI hanya mampu menyediakan satu kapal perang. Karena itu, bukan hal aneh bila banyak pencurian dan penyelundupan di laut Indonesia.

Fakta-fakta itu memperlihatkan kedaulatan baru nyata di daratan, tapi tidak di lautan. Padahal ini negara maritim. Karena itu, adalah sebuah keharusan menjadikan TNI, khususnya TNI Angkatan Laut, salah satu unsur kekuatan utama negara.

Itu kalau kita ingin berdaulat di negeri sendiri dan dihargai negara lain.

Sumber : MEDIAINDONESIA.COM

No comments: