Wednesday, September 12, 2007

Era Baru Pengadaan Persenjataan TNI

Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin tidak akan pernah lupa pesan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan pada tahun 2005. Ia diminta untuk mengubah citra Dephan sebagai departemen yang "boros dan bocor".

Tiga departemen yang dikenal tak efisien dalam menggunakan anggarannya adalah Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan, dan Departemen Agama.

Sjafrie kemudian mencoba melakukan pembenahan ke dalam, terutama dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Ia membentuk tim bersama di dalam departemen di mana keputusan pengadaan alutsista dibahas oleh Dealing Center Management (DCM).

Mengubah sebuah sistem yang sudah mengakar tidaklah mudah, apalagi begitu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya, termasuk berbagai pihak yang selama ini ikut menikmati rezeki nomplok dari pengadaan alutsista untuk kepentingan Tentara Nasional Indonesia.

Besarnya kenaikan harga yang dinikmati dari setiap pembelian alutsista antara 30 hingga 40 persen.
Tidak usah heran apabila Departemen Pertahanan dikenal sebagai departemen yang "boros dan bocor".

Cara-cara seperti itu bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga membuat TNI tak pernah bisa memiliki postur yang bisa diandalkan. Padahal, uang yang disediakan untuk pengadaan alutsista sangat terbatas.

Tak bisa sendiri

Karena menyangkut sebuah sistem, pembenahan tidak mungkin dilakukan sendiri. Apalagi pemainnya bukan hanya berasal dari kalangan dalam Dephan maupun TNI, tetapi juga pihak luar, termasuk kalangan swasta, baik itu swasta murni maupun "setengah" swasta.

Pengalaman masa lalu menunjukkan besarnya peranan "pihak ketiga". Dalam pengadaan alutsista yang terakhir ketika Indonesia mendapat kredit negara dari Rusia sebesar 1 miliar dollar AS, masih kuat keinginan dari "pihak ketiga" untuk berperan serta.

Sejak awal pembicaraan telah ada pihak yang mencoba mengatasnamakan Pemerintah Indonesia untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak Rusia. Sampai-sampai ketika delegasi resmi Dephan yang dipimpin Sekjen Dephan tiba di Moskwa, tim ini sempat dipertanyakan keabsahannya karena sudah ada pihak pertama yang datang untuk melakukan negosiasi.

Meski sistem politik besar sudah berubah, perilaku dari bangsa ini masih seperti dulu. Kebiasaan untuk mendapatkan rente seperti pada masa lalu masih tetap kuat.

Untuk itu, langkah Dephan untuk menerapkan sistem satu pintu pada pengadaan alutsista harus didukung. Seperti diakui Menhan Juwono, tidak mudah untuk menghapuskan sama sekali yang namanya "rekanan". Tetapi, Dephan sangat serius untuk mengubah citranya sebagai departemen yang "boros dan bocor". Niatan Badan Pemeriksa Keuangan untuk ikut mengawasi setiap pengadaan alutsista juga dinilai positif.

Sumber : Kompas (SURYOPRATOMO)

No comments: