Hubungan (Kembali) Mesra RI-Russia
Setelah lebih dari tiga dasawarsa hubungan Indonesia dan Rusia mendingin, kini hubungan itu mulai dipererat kembali melalui kerja sama ekonomi, politik hingga militer.
Di Moskow, Desember 2006 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Vladimir Putin menandatangani kontrak pembelian alutsista Russia diantaranya Sukhoi dan dua unit helikopter tempur MI-35.
Setelah sebelumnya pada 2003, Presiden Megawati juga berkunjungan ke Moskow untuk melakukan hal yang sama.
Hal ini dianggap cukup berani mengingat hubungan Moskow dan Washington saat ini tengah memburuk akibat perang Irak. Namun satu hal yang kembali ditegaskan pemerintah, bahwa politik luar negeri Indonesia menganut politik bebas aktif.
Hubungan Indonesia dan Rusia (dulu Uni Soviet) sangat akrab pada pertengahan 1950-an dan 1960-an. Boleh dibilang, hampir seluruh persenjataan tempur Indonesia saat itu, terutama saat Trikora (Tri Komando Rakyat untuk pembebasan Irian Barat) dan Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) berasal dari Rusia. Hingga Bung Karno saat itu berani menyatakan, kekuatan militer Indonesia terbesar dan terkuat di Asia Tenggara.
Hal ini bukan omongan belaka, dimana lapangan terbang kita saat itu dipenuhi hampir puluhan pesawat tempur berbagai jenis. Mulai dari MiG-15, MiG-17, MiG-21 hingga Pembom taktis Tu-16KS kita punya saat itu. Belum lagi rudal pertahanan udara dan artilerinya.
Era Soekarno - Kruschev
Mesranya hubungan RI-Soviet waktu itu tidak dapat dipisahkan dari persahabatan akrab antara Soekarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Kruschev berbadan gemuk dan pendek. Kepalanya botak dan hanya sedikit ditumbuhi rambut yang sudah memutih.
Ada persamaan antara keduanya (Soekarno dan Kruschev). Setidak-tidaknya ketidaksenangan mereka terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bung Karno pernah mengecam PBB sebagai alat imperlias dan kolonial, dan kemudian Indonesia keluar dari organisasi dunia ini.
Sedangkan Kruschev pernah membuat heboh ketika berpidato di Sidang Umum PBB. Sambil berteriak mengecam AS, ia kemudian melepaskan sepatunya. Lalu berulang-ulang diketokkan ke meja tempat berpidato.
PM Kruschev dan Presiden Voroshilov pernah berkunjung ke Indonesia, seperti juga berbagai delegasi Uni Soviet lainnya. Termasuk tim sepak bola, kesenian, kebudayaan, dan film yang berkali-kali berkunjung ke sini.
Bahkan Yuri Gagarin, kosmonot pertama ke ruang angkasa, juga berkunjung kemari. Ketika Kruschev tiba di Indonesia, dari Bandara Kemayoran hingga Istana Merdeka yang jaraknya hampir 10 km, lautan manusia mengelu-elukannya di kiri kanan jalan.
Karuan saja hubungan mesra RI-Uni Soviet (US) membuat gerah AS. Kedua adidaya ini tengah bersaing untuk mempengaruhi dunia. Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat memuat penuturan Bung Karno tentang memburuknya hubungan RI-AS.
”Kepergiannya ke Peking (Beijing) dan Moskow pada 1957, oleh AS dinilai sebagai langkah salah,” tutur Bung Karno. ”Itulah asalnya mereka mulai mencap seorang maha pencipta Tuhan sebagai seorang komunis yang pekat,” tambahnya.
Kala itu, Menlu AS John Foster Dulles dengan angkuh mengatakan pada Bung Karno, ”Politik AS bersifat global. Aliran netral adalah tidak bermoral.” Yang oleh Bung Karno dijawab, ”Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, Amerika memberikan kami nasihat itu bisa. Akan tetapi jangan mencampuri persoalan kami.”
AS kala itu juga mencap komunis terhadap tiap gerakan kemerdekaan dunia ketiga. Karena politik AS itulah, setidak-tidaknya turut membesarkan kekuatan Partai Komunis Indonesia di sini.
Lalu Bung Karno menuturkan bagaimana di US dia disambut besar-besaran. ”Di Moskow 150 orang barisan musik menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” sebagai penyambutanku di lapangan terbang, sungguh pun aku datang dengan pesawat Pan Am (milik perusahaan AS).
Pemandangan ini membuat mataku berlinang karena bangga. Bangga karena negeri kami mendapat penghargaan demikian.”
Saat itu Jenderal AH Nasution selaku menko hankam/pangab telah terlebih dulu berada di Moskow sebelum Bung Karno. Dalam buku ”Memenuhi Panggilan Tugas,” jilid 6 menulis, ”Bung Karno mendarat dengan pesawat Pan Am. Kemudian para pramugari Amerika yang cantik-cantik berseragam biru itu membuat jajaran di tangga pesawat.”
Maka PM Kruschev menggoda saya, ”Jenderal alangkah manisnya gadis-gadis Indonesia.” Terhadap kritik halus ini Pak Nas menyahut, ”Ah PM telah pernah berkunjung ke Indonesia. Di sana tidak ada rambut-rambut yang pirang demikian.”
Setelah kunjungan ke Moskow ini, berbagai gosip diembuskan oleh Barat terhadap pribadi Bung Karno. Termasuk majalah terkemuka Time,Newsweek, dan Life.
”Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada negara-negara sosialis. Oohh, kata mereka lihatlah Soekarno lagi-lagi bermain mata dengan Blok Timur, ” kata Bung Karno. Oleh Bung Karno dijawab, negara sosialis tidak pernah mempermalukannya, seperti dilakukan Barat. ”Kruschev mengirimkan jam dan puding dua minggu sekali, dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari panen yang terbaik.”
Konon, Bung Karno juga pernah menerima hadiah sebuah pesawat Ilyusin dari US yang kemudian diberi nama Dolok Martimbang.
”Jadi, apakah salahnya bila aku berterima kasih kepadanya. Siapakah yang tidak akan bersikap ramah, terhadap seseorang yang bersiakap ramah kepadanya? Apa yang aku ucapkan itu adalah tanda terima kasih, bukan komunisme. Pandirlah aku bila aku membuang muka, bilamana ia diberi begitu banyak,” kilah Bung Karno.
Di antara bantuan US yang hingga kini berdiri dengan megah adalah Stadion Utama Bung Karno beserta kompleks Istora Senayan.
Stadion ini pernah menjadi tempat pesta Asian Games IV dan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) I. Ganefo diselenggarakan untuk mematahkan dominasi IOC (Komite Olimpiade Internasional) yang telah menskorsing Indonesia karena menolak kehadiran Israel pada AG ke-IV. Di stadion ini Bung Karno sering berpidato pada rapat-rapat raksasa yang dihadiri ratusan ribu massa.
Kala itu, kekuatan politik seperti Partai Nasional Indonesia, PKI, dan Nahdlatul Ulama saling bersaing dalam mengerahkan massa seperti yang terjadi pada hari ulang tahun PNI, PKI, dan NU. Bung Karno kurang berkenan bila –saat berpidato– stadion yang dapat menampung lebih 100 ribu massa itu tidak penuh.
Era Megawati, Yudhoyono dan Putin
Bukan tidak mungkin Indonesia bakal mengalami kejadian yang sama di era Kruschev, ketika kita (RI) coba berpaling ke Kremlin. Banyak negara mencibir hubungan kedua negara yang mencoba kembali bergandeng tangan untuk mencapai tujuan yang saling menguntungkan (Simbiosis mutualisme).
Sekedar mengejar ketertinggalan alutsista kita yang telah jauh tertinggal hingga 2 dekade kebelakang, adakah salah jika Indonesia mencoba me-recover persenjataan uzur-nya menjadi baru.
Picik, sangatlah picik ketika Howard bahkan Bush yang menanyakan langsung ke Yudhoyono di forum APEC mengenai kesepakatan militer RI dan Russia. Bahkan mereka (AS dan Australia) tidak mengaca dirinya, betapa banyak kekayaan yang telah mereka ambil dari Nusantara ini.
Newmount, Freeport, Hariburton dan lainnya telah menjadi mesin penghasil uang buat AS, bahkan dikhabarkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan AS di Indonesia tersebut mampu membiayai operasional ketujuh armada laut miliknya.
Mimpi Indonesia kembali kepada era Soekarno-Kruschev sebenarnya bukan mustahil diwujudkan jika kita mempunyai komitmen dan keberanian diplomasi dengan negara barat.
Pahitnya rezim korupsi, kolusi, nepotisme yang membuat Indonesia tersedak selama hampir 32 tahun jelas tidak akan hilang rasanya, bahkan hingga 50 tahun kedepan pun kita (rakyat Indonesia) masih akan mencicil hutang-hutangnya.
Sudah sepatutnya Indonesia belajar dari pengalaman, haluan pun telah diubah, mulai dari kebijakan militer Megawati hingga Yudhoyono sepatutnyalah Indonesia terus melaju dengan bahtera besarnya. MAJULAH NEGERIKU.
©alutsista.blogspot.com
No comments:
Post a Comment