Thursday, July 02, 2009

Efisiensi Manajemen Alutsista



Oleh : JALESWARI PRAMODHAWARDANI
Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Mengapa efisiensi manajemen alat utama sistem persenjataan atau alutsista penting dilakukan segera? Pertama, persoalan jumlah anggaran pertahanan. Sejak pesawat militer dan prajurit berguguran, peningkatan anggaran pertahanan yang minim menjadi satu-satunya wacana populer yang tidak ”populer” yang didesakkan kepada pemerintah dan DPR. Mengapa?

Pengalaman satu dasawarsa reformasi TNI menunjukkan, kendatipun jumlah anggaran pertahanan selalu diusulkan naik, tidak satu presiden pun mampu melakukannya sesuai dengan usulan maupun rencana strategis yang diajukan Departemen Pertahanan (Dephan).

Pilihan untuk tidak menaikkan anggaran ini terjadi karena anggaran nasional kita telah tersegmentasi dalam alokasi penganggaran yang jelas setiap tahun. Misalnya, 20 persen dialokasikan untuk anggaran pendidikan, sebagian lainnya untuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil yang ketiganya harus dianggarkan untuk daerah, selain itu juga anggaran untuk berbagai subsidi, seperti subsidi energi dan pupuk. Sisanya dibagikan kepada pos anggaran seperti kesehatan, sosial, kesejahteraan, termasuk pertahanan. Keterbatasan anggaran dan pilihan skala prioritas merupakan perdebatan klasik selama sepuluh tahun terakhir ini. Dan semua presiden memilih persoalan kesejahteraan lebih diutamakan daripada keamanan. Jadi, kemungkinan untuk kenaikan anggaran lima tahun ke depan hampir dapat dipastikan tidak akan melebihi jumlah Rp 40 triliun, apalagi sesuai dengan usulan Dephan yang mencapai Rp 127 triliun.

Selain itu, dengan hanya berfokus pada peningkatan anggaran pertahanan semata, kita mengabaikan beberapa persoalan penting lain yang berpotensi untuk perbaikan peningkatan kekuatan pertahanan kita. Dengan hanya berkutat pada peningkatan anggaran yang masih sulit untuk direalisasikan, kita secara tidak langsung menutup kemungkinan dan strategi menyiasati anggaran yang diterima serta perencanaan yang bertumpu pada minimum essential force sesungguhnya.

Dengan asumsi di atas, yaitu sulitnya anggaran pertahanan naik secara signifikan, diperlukan langkah penting sebagai terobosan memenuhi kebutuhan alutsista yang memadai.

Pertama, pentingnya Rencana Strategis (Renstra) Dephan yang komprehensif. Kebutuhan minimal Dephan/TNI selama ini menggunakan perhitungan proyeksi anggaran secara regresi linear dari kebutuhan atau usulan pada tahun sebelumnya. Dengan penambahan laju inflasi 10 persen, kenaikan rata-rata APBN selama lima tahun dan rata-rata kenaikan rencana anggaran belanja Dephan/TNI selama lima tahun. Hal ini tidak mencerminkan kebutuhan perumusan renstra pertahanan yang sesungguhnya. Renstra pertahanan penting dilakukan karena hal ini yang akan menentukan arah pengembangan postur pertahanan nasional, akuisisi persenjataan yang diperlukan, dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Renstra ini memerlukan perhitungan yang rumit karena harus mengombinasikan alokasi sumber daya nasional yang diperlukan untuk mempertahankan postur pertahanan yang saat ini ada (arms maintanence) dan kebutuhan untuk memulai proses modernisasi pertahanan (arms build- up).


Anggota TNI menggunakan panser mengelilingi kota Kuala Kencana, Mimika, Papua, 12 Desember 2008.

Kedua, persoalan jenis alutsista. Mengingat semakin besarnya potensi ancaman yang ada, pembangunan pertahanan Indonesia, termasuk konsep dan strategi serta pengadaan alutsista, haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sistem pertahanan udara dan bawah laut hendaknya mendapat prioritas pertama, mengingat Indonesia sebagai negara maritim sangat rapuh terhadap ancaman musuh.

Dari data Dephan tahun 2004, kita memiliki ”museum” persenjataan dengan 173 jenis alutsista dari 17 negara. TNI Angkatan Udara memiliki 87 pesawat tempur dari sejumlah negara yang sebagian usianya lebih dari 20-30 tahun. Kita harus mulai mengubah mindset untuk tidak melulu memikirkan jumlah alutsista, tetapi di sisi lain justru abai dengan modernisasi teknologi alutsista dengan bersembunyi di balik minimnya anggaran. Lebih baik kita memiliki dua kapal selam baru dengan dukungan teknologi terbaru dan persenjataan tercanggih ketimbang membeli 10 kapal selam bekas tanpa dipersenjatai dan memiliki spesifikasi tempur yang andal.

Perlu dilakukan kajian terhadap alutsista yang kita butuhkan berdasarkan kondisi geografis dan anggaran kita. Misalnya, bagaimana spesifikasi kapal selam yang dibutuhkan sesuai dengan tingkat ancaman yang akan dihadapi dan bagaimana kemampuan tempurnya. Spesifikasi dan kebutuhan operasi ini akan diserahkan masing-masing angkatan kepada Dephan untuk kemudian ditentukan dari negara mana kapal selam itu diadakan. Dalam usulan TNI Angkatan Laut untuk Renstra 2010-2014, misalnya, disebutkan perlunya penambahan 2 kapal selam baru dari 12 kebutuhan kapal selam modern untuk menghadapi tantangan tersebut. Ada beberapa negara yang menjadi pilihan, antara lain Jerman (U-209), Korea Selatan (Changbogo), Rusia (Kelas Kilo), dan Perancis (Scorpen). Pilihan memang harus diputuskan untuk awal tahun periode 2010-2014.

Dengan penambahan dua kapal selam tersebut, kita juga perlu memperkuat penguasaan teknologi pemantauan antikapal selam yang menyusup ke wilayah Indonesia. Seperti kapal anti-submarine, yaitu kapal permukaan yang memiliki kemampuan berupa perlengkapan maupun sistem senjata untuk menghancurkan kapal selam lawan berupa alat deteksi sonar, senjata torpedo, dan bom laut. Intensitas gangguan yang datang dari negara tetangga dan mengancam kedaulatan bangsa Indonesia semakin meningkat. Kasus Ambalat sebagai contoh.

Ketiga, sumber alutsista dan pendanaan alutsista. Selama ini pengadaan alutsista kita didanai fasilitas kredit ekspor (FKE) yang mensyaratkan bunga yang tinggi dan pengembalian cepat. Perlu optimalisasi peran badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS) untuk mengisi kesenjangan kebutuhan alutsista TNI. Sejak zaman Presiden Habibie hingga Presiden SBY, jargon ”kita harus mencintai produksi dalam negeri” hanyalah berhenti pada kata-kata tanpa makna karena sebagian besar pemangku kepentingan masih menilai produk dalam negeri merupakan kasta rendah meski sebagian besar membalutnya dengan kalimat ”harus mendayagunakan dan optimalisasi BUMNIS”. Hal ini dapat dibuktikan melalui penggunaan produk BUMNIS yang baru mencapai 5 persen. BUMNIS seperti PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, dan PT Dahana merupakan aset penting yang masih perlu pembenahan di dalamnya.

Keempat, mempergunakan strategi offset, salah satu cara untuk melakukan inovasi sistem pembelian senjata. Pengertian ini mengacu pada pembelian atau investasi timbal balik yang disepakati pemasok senjata sebagai imbalan dari kesepakatan yang dilakukan. Ada dua tipe offset yang bisa dimintakan oleh Indonesia, licensed production, yaitu transfer teknologi oleh negara produsen kepada Indonesia dan co-production, dalam hal ini Indonesia dilibatkan dalam pembuatan komponen peralatan militer yang tengah dipesan, selain itu juga menghasilkan peralatan militer yang sama untuk memenuhi pesanan dari negara produsen maupun pasar internasional.

Kelima, perlu dipikirkan terobosan baru tanpa mengorbankan undang-undang atau kebijakan yang telah ada untuk melibatkan daerah-daerah (terutama daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan berada di wilayah perbatasan/ strategis) membantu pembiayaan pertahanan melalui dana hibah. Mekanisme penganggarannya perlu dicermati dengan tetap meletakkan APBN sebagai satu- satunya pembiayaan pertahanan negara sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Pertanyaan utamanya adalah presiden mana yang berani melakukan tugas penting ini?

No comments: