Pembelian Alutsista Asing Harus Ada Mekanisme Transfer of Technology
Sekjen Kemhan Marsdya Eris Haryanto
JAKARTA - Kementerian Pertahanan (Kemhan) tetap mengizinkan pengadaan alutsista TNI dari luar negeri jika alutsista tersebut tidak bisa dibuat di dalam negeri. Namun, apabila pengadaan tersebut dari luar maka tetap harus melakukan transfer teknologi.
"Kebijakan yang dikeluarkan Menhan itu jika pengadaan alutsista yang tidak bisa dibuat di dalam negeri. Tapi harus ada transfer teknologi sehingga peralatan kita beli paling tidak bisa mendukung keberadaan TNI," kata Sekjen Kemhan Marsdya Eris Haryanto, di Jakarta, Rabu (2/6).
Menurutnya, transfer teknologi tersebut menjadi utama bagi pertimbangan pemerintah, sehingga ke depan bisa mengerjakan barang itu dengan sendiri.
Diakuinya, pembelian untuk pengadaan alutsista memang saat ini terbatas dengan anggaran. Untuk bisa transfer teknologi, lanjut dia, harus ditempel dalam pengadaan sehingga bisa mendukung dari dalam negeri dan bisa membuat sendiri.
"Hal ini sudah diketahui oleh semua prinsip-prinsip yang beroperasi. Dalam pengadaan barang mereka memahami sehingga saat menawarkan selalu disertakan dengan program transfer of technology," papar Eris.
Wacana Kerjasama Pembuatan Pesawat Tempur
Dikesempatan yang sama Marsekal Madya Erris Herryanto juga mengungkapkan Kemungkinan penandatanganan perjanjian kerja sama (MoA) dengan Korea Selatan untuk pembuatan pesawat tempur dimana Kesepakatan studi kelayakan telah ditandatangani tahun 2009 lalu.
Pada Maret 2009 telah dilakukan penandatanganan letter of intent (LoI) tentang kerja sama pertahanan di bidang proyek pesawat tempur ditandatangani oleh Sekjen Dephan Sjafrie Sjamsoeddin dan Commisioner of Defense Acquisition Program Administration Korsel Byun Moo-keun.
Pemerintah kemudian membuat studi kelayakan pada Juli 2009 dan sepakat untuk melanjutkan pada tahapan selanjutnya. Dalam studi itu disebutkan, Indonesia layak untuk berpartner membuat pesawat tempur. Spesifikasi pesawat tempur dengan kode KFX ini kira-kira berada di atas F-16, tetapi di bawah spesifikasi F-35.
Menurut Erris, langkah tersebut merupakan suatu kemajuan karena tidak banyak negara yang bisa membuat pesawat tempur. Apabila memiliki pabrik pesawat tempur, Indonesia tidak akan bergantung lagi kepada negara lain.
Menurut Erris, masalah komitmen dan perjanjian secara rinci tengah dibahas. Namun, tidak ada perbedaan yang mencolok. Saat ini tengah disusun isi perjanjian di antara kedua belah pihak. Erris belum bisa merinci beberapa hal yang tertuang dalam perjanjian itu, termasuk apa saja yang akan diperoleh Indonesia dan apa saja yang harus disediakan. ”Yang jelas, kita punya PT Dirgantara Indonesia dan tenaga ahli,” kata Erris.
Nilai proyek ini mencapai US$8 miliar dimana Indonesia diharapkan dapat memberikan porsi 20 persen dari total proyek dengan jangka waktu R&D hingga tahun 2020. Diharapkan pada tahun 2020 sudah bisa disiapkan lima prototipe pesawat. Akan tetapi, belum ada kesepakatan soal pembiayaan tersebut. Dan pemerintah sendiri belum menganggarkan kebutuhan dananya.
Sumber : PRIMAAIR-ONLINE/KOMPAS/MEDIA INDONESIA
No comments:
Post a Comment