Pengadaan Kapal Selam TNI AL Ditunda
Changbogo class submarine (SS-209)
JAKARTA - Dephan memutuskan menunda pengadaan kapal selam baru bagi TNI AL. Menurut Sekretaris Jenderal Dephan Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, anggaran menjadi faktor penghalang utama menghadirkan senjata strategis itu. Terlebih dana pertahanan terus berkurang.
"Kami tidak fokus dulu ke kapal selam," katanya usai bertemu Kepala Staf TNI AL (KSAL) Tedjo Edhy Purdijanto di Jakarta, akhir pekan lalu (2/1).
Dia menjelaskan, pengadaan kapal selam baru akan dibicarakan pada rencana strategis berikutnya, yakni 2010-2014. Meski demikian, pihaknya tetap mempersilahkan matra laut menggodok spesifikasi teknis kapal selam yang diinginkan.
Sjafrie mengatakan, Dephan hanya menyampaikan porsi anggaran yang dimiliki dan postur pertahanan yang rencanakan. Manakala kebutuhan sesuai postur, pengadaan tentu akan jalan. Dan sebaliknya, kalau spesifikasi sudah cocok, tapi anggaran tidak ada pengadaan tak akan terlaksana.
"Ini harus dipahami setiap angkatan," katanya.
Tedjo menambahkan, matra laut tentu mempertimbangkan kendala anggaran yang dialami pemerintah. Namun, dia berharap, penandatangan kontrak dapat terealisasi tahun ini. Tak hanya itu, TNI AL tetap berupaya dibelikan dua kapal yang beroperasi bawah air itu.
"Kita lihat saja bagaimana perkembangannya," kata lulusan Akademi Angkatan Laut tahun 1975 itu.
Dia menjelaskan, TNI AL tidak melihat banyaknya kapal selam yang dihadirkan. Dia hanya meminta kualitas dan teknologi kapal yang dimiliki setara dengan negara lain.
"Meski hanya satu, kapal selam canggih memiliki nilai tangkal sangat besar," katanya.
Dari kajian TNI AL, tiga negara produsen menjadi incaran yakni Rusia, Jerman, dan Korea. Spesifikasi teknis saat ini masih dibahas tim internal matra laut.
"Masih ditimbang-timbang mana yang terbaik," katanya.
Sebelumnya, Dirjen Sarana Pertahanan Dephan Marsda Eris Herryanto mengatakan, pengadaan kapal selam dikaji ulang karena pembangunan sarana pendukung kapal bawah air itu sangat mahal. Diperkirakan mencapai 20 persen dari harga kapal selam. Artinya, dengan harga minimal Rp3,5 triliun setidaknya dibutuhkan tambahan Rp700 miliar.
Merujuk kredit ekspor yang ditawarkan negara peminjam pembangunan sarana pendukung tidak termasuk item pengadaan senjata. Contohnya kredit negara US$1 miliar yang ditawarkan Rusia.
"Jadi mau tak mau dana pembangunan sarana dari APBN," katanya.
Menurut dia, pembangunan dengan biaya besar dari dana APBN jelas sulit dilakukan. Minimnya dana pertahanan yang diterima beberapa tahun belakangan tentu membuat Dephan harus menetapkan prioritas.
Sumber : JURNAS
No comments:
Post a Comment