Tenggelamnya Perenang Andal
JAKARTA -- Mata Iin Damayanti merah dan sembap, mukanya pucat ketika menghadiri pemakaman suaminya di Desa Jadimulya, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Senin pekan lalu.
Suami Iin, Hadi Sutrisno, adalah satu dari enam marinir Brigade Infanteri I yang tewas dalam latihan Armada Jaya 2008, awal bulan lalu. Keenam marinir itu tewas ketika panser amfibi yang membawanya tenggelam di pantai Banongan, Asembagus, Situbondo.
Penyebab utama tenggelamnya panser itu masih dalam penyelidikan TNI Angkatan Laut, walaupun faktor usia kendaraan tempur dan ombak besar dipercaya menyumbang peranan. Yang pasti, peristiwa tersebut memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers yang memerintahkan jajaran TNI mengandangkan seluruh peralatan perangnya yang sudah uzur.
Panser marinir yang tenggelam itu, BTR-50P, sejatinya memang mampu berenang di laut. Umumnya disebut kendaraan pengangkut personel atau armoured personnel carrier (APC). Berbeda dengan tank, yang berfungsi sebagai alat penghancur, kendaraan tempur buatan Rusia itu bertugas mengangkut serdadu di lingkungan atau daerah yang berbahaya. Karena itu, ia dilapisi baja.
Tank hanya memuat awak 3-4 orang, sedangkan kendaraan tempur pengangkut personel mampu membawa 8-12 orang penumpang, termasuk awak. Perbedaan lainnya terletak pada senjata. Tank dilengkapi dengan meriam kaliber besar, sedangkan APC hanya dilengkapi dengan meriam kaliber kecil atau senapan mesin. Sebagai panser amfibi, BTR-50 mampu "hidup di dua alam", yakni mampu berlayar di laut dan melaju di darat.
Sebenarnya usia panser amfibi di dunia militer belum terlampau tua, belum satu abad. Kendaraan ini baru dikembangkan pada Perang Dunia ke-2, ketika angkatan perang yang terlibat, terutama Amerika Serikat, menyadari kebutuhan untuk mengangkut pasukan penyerbu.
Di pantai yang dipenuhi tentara musuh, kapal perang tidak bisa mengantar tank dan pasukan sampai ke darat. Perahu kecil yang digunakan mengangkut pasukan sampai ke pantai, sering kali menjadi sasaran empuk bagi musuh. Maka hadirlah panser amfibi yang mampu mengapung di laut. Dinding lapis bajanya mampu melindungi prajurit di dalamnya dan senjatanya mampu mendukung serangan terhadap musuh.
BTR-50 merupakan hasil pengembangan Soviet (sekarang Rusia), untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Daratnya. BTR singkatan dari Bronetransporter, yang berarti "pengangkut lapis baja". Desainnya didasarkan pada sasis tank amfibi PT-76, termasuk menyontek roda penggerak yang berbasis rantai baja. Dikembangkan pada 1952, BTR-50 memasuki dinas aktif pada 1954.
BTR-50 memiliki lambung badan yang rata dan berbentuk seperti kapal. Volumenya luas dan lapis bajanya tidak setebal tank. Desainnya dirancang agar bobotnya tidak seberat tank dengan bentuk dan volume yang memastikannya terapung di air. Badan panser itu juga dirancang tertutup sehingga tidak kemasukan air ketika terjun ke laut.
Sistem penggeraknya ada dua macam. Di darat, panser ini digerakkan oleh diesel. Disediakan pula mesin jet air atau hydrojet yang ditempatkan di dua sisi lambung untuk digunakan ketika "nyemplung".
Jalur keluar air di mesin hydrojet berada di belakang dan di depan. Bagian ini dapat ditutup sebagian atau seluruhnya agar panser mampu berputar dan bahkan mundur ketika mengapung di laut.
Rantai baja penggeraknya juga berbeda dengan tank. Tank menggunakan pelek yang tebal dan berat pada rantai rodanya, sedangkan panser amfibi menggunakan tabung pelek berongga atau kosong di tengahnya sehingga tersedia tambahan bantuan daya apung. Pilihan pelek lainnya adalah yang terbuat dari karet.
Pada saat ini ada tiga varian panser BTR yang dimiliki Korps Marinir. Varian pertama adalah BTR-50P yang dibuat pada 1960. Ia memiliki mesin berkemampuan 16,6 tenaga kuda, tapi aslinya tidak dilengkapi dengan senjata integral. BTR-50P ini diawaki tiga kru, dengan kemampuan angkut 20 orang anggota pasukan.
Jenis lainnya adalah BTR-50PK. Panser amfibi ini memiliki kemampuan angkut prajurit yang sama dengan BTR-50P, tapi langit-langitnya memiliki lapis baja yang lebih tebal serta dilengkapi dengan senapan mesin integral 7,62 milimeter. Yang lainnya adalah BTR-50PN, yang dibuat pada 1962 dan berfungsi sebagai komandan serangan karena dilengkapi perangkat radio dan teleskop yang lebih lengkap.
Ketiga panser amfibi itu memiliki kemampuan jelajah yang sama: sekitar 240 kilometer. Dengan tangki bahan bakar berkapasitas 200-240 liter, ketiga jenis BTR-50 ini memiliki kemampuan operasional sampai 8 jam. Semua jenis BTR itu juga dilengkapi dengan pompa pembuang apabila kemasukan air.
Namun, kecepatan laju panser di darat dan di laut berbeda. Di darat, kecepatan larinya mencapai 40-45 kilometer per jam, padahal dulu hanya bisa berlari sekitar 10 kilometer per jam. Sebagian besar jenis BTR-50 ini telah mengalami retrofit atau peningkatan kelayakan yang dilaksanakan pada 1987 hingga 1996, termasuk penggantian mesin.
Meski sudah mengalami facelift, pengamat militer Andi Wijayanto menilai, tenggelamnya panser yang mampu mengapung ini merupakan isyarat tepat untuk menggantinya dengan yang lebih muda dan modern. Ukuran yang sederhana untuk menilai kelayakan adalah waktu pakai yang ditetapkan negara asalnya. "Tiap peralatan perang memiliki waktu kedaluwarsa yang ditetapkan negara asalnya," katanya.
Apabila negara asal sudah tidak lagi menggunakannya, itu berarti sudah waktunya TNI mencari gantinya. "Ada saatnya untuk mengganti karena retrofit tidak bisa dilakukan berkali-kali," katanya. Apalagi sekarang Rusia sudah tidak lagi menggunakan panser jenis BTR. AMAL IHSAN | IVANSYAH | ARMY-TECHNOLOGY | ARMY-RECOGNITION
No comments:
Post a Comment