Menengok Mata Pertahanan Udara Indonesia Timur
Akhir bulan lalu, Tempo bersama media lain berkesempatan melihat dua daerah perbatasan dengan Negara lain di wilayah timur. Kali ini kami mencoba mereportasekan bagaimana Angkatan Udara memantau pertahanannya agar tak jebol ditembus negara lain.
Gedung minim cahaya itu bukan sembarang ruangan. Tiga prajurit elite Angkatan Udara yang tergabung dalam Komando Pasukan Khas menjaga selama 24 jam di depan pintu masuk ruangan sekitar 30 x 30 meter ini.
Sebanyak 114 orang bekerja silih berganti selama sehari semalam tanpa henti di tempat itu.
Gambaran ketatnya penjagaan di tempat itu bisa dimakhuni. Sebab, di gedung yang dinding luarnya tak bercat itu, ratusan pulau, ribuan kilometer persegi, serta bermil-mil wilayah udara dipantau.
"Ini persoalan menjaga kedaulatan negara," ujar Panglima Komando Sektor IV Pertahanan Udara Markas Besar TNI Marsekal Pertama Djubaedi akhir bulan lalu. Perwira tinggi lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1976 ini bertanggung jawab atas pertahanan udara di wilayah paling timur Indonesia.
Tentu saja idealnya tidak sembarang pengawasan yang harus dilakukan di wilayah yang membentang dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, hingga Papua itu.
Tengok saja di peta, wilayah ini berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, Filipina, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Tak mengherankan kalau markas komandonya didirikan di Pulau Biak, yang oleh Belanda dan Jepang dijadikan sebagai pangkalan pertahanan utama mereka ketika menjajah Indonesia.
Meski perhitungan strategis itu sudah ada puluhan tahun lalu, pemerintah baru membangun komando untuk memasang mata pertahanan di wilayah timur itu pada 23 Maret 2003, dan diresmikan pada 4 April 2006. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kata pepatah lama.
Harus diakui, soal dana yang tidak kecil menjadi kendala utama dalam membangun sarana pertahanan ini. Tapi, soal perhatian yang kurang juga harus diakui.
Banyak kalangan menilai bahwa pemerintah lebih banyak memperhatikan wilayah barat dari pada timur. Salah satu pejabat Departemen Perhubungan baru-baru ini menginformasikan bahwa pemerintah akan memasang radar di Selat Malaka sampai Selat Sunda, berjumlah 21 unit.
Meski pada Perang Dunia II penjajah Jepang menjadikan Biak sebagai salah satu batu loncatan untuk menyerbu pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Hawaii, hanya ada dua satuan radar yang didirikan di wilayah ini. "Idealnya ada sembilan satuan," ujar Djubaedi.
Radar yang terpasang sekarang memang masih laik operasi. Alat pendeteksi yang terpasang sekarang adalah buatan Prancis bermerek Thomson buatan tahun 1980an, yang ditempatkan di Biak dan Kupang.
"Katanya, pada 2009 akan datang lagi radar-radar baru model Master T, yang jauh lebih baik ketimbang Thomson. Kami masih menunggu realisasinya," ujarnya.
Jika tidak ada aral yang menghalang, Djubaedi akan menempatkan radar baru itu di Morotai, Ambon, Saunliaki, Merauke, Timika, Jayapura dan Sorong.
"Sarana yang baru ini penting bagi pertahanan. Tapi kami tetap akan memaksimalkan sarana yang ada," ujar Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Daryatmo.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Herman Prayitno sebenarnya pernah juga menyampaikan rencana penambahan radar ini pada Juni lalu. "Seharusnya, kita memiliki 28 sampai 30 radar," ujarnya.
Pada saat ini, kata Herrnan, Indonesia baru memiliki 17 buah radar yang disebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dia berbarap hingga 2009 ada penambahan jumlah alat pemantau ini. "Jika disetujui, pada tahun itu kita punya 24 buah radar," ujarnya. Raden Rahmadi (Biak)
No comments:
Post a Comment