Wednesday, April 28, 2010

Manisnya Buah "Kemandirian"



Oleh : ES, Saepudin, SP.

Tragedi Thiananmen rasanya belum lama berselang, sebuah tragedy kemanusiaan sekaligus tragedy penegakan demokrasi dalam pandangan bangsa Erofa, meskipun tidak demikian bagi bangsa China.

Apa pendapat pemerintah China mengenai kasus ini?, dengan tegas pemerintah China mengatakan, kasus Thiananmen adalah kultimasi campur tangan, sekaligus juga adalah kultimasi perlawanan bangsa China terhadap campur tangan. Dalam bahasa lain diplomat China menegaskan, “…tanpa adanya tindakan tegas yang diambil pemerintah China pada waktu itu (thn 1989), belum tentu China berada pada posisinya saat ini”.

Pada periode itu juga, kurang lebih beberapa tahun sebelum kejadian Thiananmen, pemerintah China mengutus seorang jenderal sebagai diplomat ke negeri ini, khusus untuk bertanya kepada Bpk Prof, Dr, BJ Habiebie mengenai strategi penguasaan teknologi, Bpk. Soeharto sebagai presiden waktu itu mengijinkan hal ini.

Benarkah mereka ingin belajar?, setidaknya ada dua opsi jawaban, pertama mereka benar ingin belajar dari indonesia, dan kedua, mereka melakukan sebuah survai, sebuah cara untuk memperoleh masukan dan memperkaya persepsi untuk membuat keputusan final, langkah strategis dalam penguasaan teknologi.

Menjelang tiga dekade berselang China mengumumkan pembuatan pesawat tempur generasi ke empat menurut hitungan mereka, generasi kelima menurut hitungan orang Erofa dan Amerika. China memberinya kode J-XX, merupakan sebuah lompatan dari J-10 (ex Lavi Israel) dan J-11 (Duplikat SU-27/30 Rusia).

Pesawat ini diklaim China memiliki kemampuan setara F-22 Raptor Amerika, SU-37 Berkut atau T-50 Pakfa Rusia. Berbagai kalangan militer dan pengamat militer memperdebatkan klaim ini. Mereka yang konsern terhadap teknologi meragukan kemampuan China dalam penguasaan Airframe, Avionik dan Weapon Aiming Control (system computer pengendali senjata), sedangkan mereka yang konsern terhadap system operasi sebuah pesawat tempur yang syarat teknologi, meragukan kemampuan China dalam dukungan dan operasionalisasinya.

Secara nyata F-22 maupun F-35 adalah wujud seni teknologi tinggi, gabungan keindahan perancangan, kecanggihan teknologi komputer yang disandang (system komunikasi dan pemandu senjata) dan daya hancur/mematikan, tak salah kalau yang satu disebut “Raptor” dan yang lainnya “Lightning”.

Bagi sebuah bangsa sebesar China, yang jika dipandang dari sisi kesejarahannya telah berulang kali melahirkan dinasti besar, termasuk juga pemikir-pemikir besar (Pilsuf), bahkan dibidang militer, taklah mengherankan jika dalam tempo relatif singkat mereka sanggup mengklaim buah dari visi yang diretas semenjak kurang lebih 3 dekade ini.



Dalam tulisan saya di kaskus formil (Sebuah Visi Bagi seorang Visioner) saya membahas, “…., dibutuhkan setidaknya empat faktor utama untuk merealisasikan visi ini : Sumberdaya Manusia; Bahan baku/material; Infrastruktur; Modal”. Pertanyaannya, apakah Indonesia, tepatnya pemimpin-pemimpin Indonesia memiliki visi seperti ini?, karena meskipun setiap departemen mengklaim meiliki renstra, cetak biru, dan banyak istilah lainnya, kenyataan dilapangan berkata lain. Disepanjang penelusuran dari tahun 1994 – 2008, ganti pejabat ganti kebijakan, bahkan ganti renstra (lebih dikenal dengan istilah “kilometer nol”).

Bahkan jika pada awal dekade pertama itu China hanya memiliki sumber daya manusia saja (orang china sangat kosmopolit), tidak sulit bagi mereka untuk memperoleh insinyur lulusan Negara-negara maju (Jerman, Amerika, Perancis, Rusia, Jepang, dsb). Ditambah dengan kepiawaian mereka dalam memanfaatkan peranan kapital dengan nominal besar/sangat besar, Tak heran kalau mereka sanggup membeli teknologi “Lavi Israel” sesuatu yang sangat, bahkan paling sulit dilakukan, bukan bandingan kalau harus dibandingkan dengan membeli lisensi SU-27/30.

Dengan jumlah arsenal tak terkira, yang dipasok era Soviet di semua matra, artinya China juga memiliki material. Hasil penelusuran terhadap beberapa wawancara personil TNI yang dikirim ke Soviet/Rusia di media cetak, diketahui Soviet/Rusia memiliki konsep pendidikan dalam penguasaan dukungan operasional alat yang dibeli Negara sahabat, sangat komprehensif, jadi tidak aneh kalau setidaknya, konsep dasar fungsi alat diketahui dengan baik oleh teknisi-teknisi China.

Pada jamannya, desain perancangan teknik (Blue Print) dilakukan diatas kertas, sedangkan sekarang semua dilakukan secara elektronik/digital. Pada jamannya dulu, sebuah blue print bisa berujud ribuan lembar, sekarang bisa hanya berujud selembar chip seukuran kuku, terlebih jika kita libatkan juga kemungkinan penggunaan teknologi nano.


Kapal Induk bekas Ukraina yang dibeli China

Pembatasan perdagangan pada jaman sekarang, sebagai bagian dari pencegahan resiko jatuhnya teknologi kepada pihak musuh atau saingan sungguh sangat sulit dilakukan.
Mencermati semua titik lemah ini, dan menyaksikan kecepatan gerak maju yang dimiliki China saat ini, dan dengan mencermati beberapa kasus peperangan di dunia maya, jelas sudah, China memiliki infrastruktur itu.

Hakikatnya, perangkat keras (hardware) teknologi adalah sama, apakah ketika dia digunakan sebagai perangkat sipil atau militer, hanya kemasan dan isi programnya saja yang akan berbeda. Sehingga tak aneh kalau akan terjadi substitusi fungsi-fungsi hardware dari sipil ke militer, hanya dengan cara menformat ulang kemudian mengisinya dengan program militer, kemudian dikemas dengan kemasan militer, jadilah dia perangkat mematikan.

Kamajuan China secara militer saat ini hampir telah merata disemua matra, kecerdasan mereka dalam menduplikasi sangat nyata terlihat, mulai dari “Crotale” atau “Roland” yang berubah ujud jadi system SAM persi mereka.

Kita juga bisa melihat metamorfosa rudal balistik, mulai dari pengembangan rudal balistik jarak dekat, jarak menengah, rudal jelajah, hingga ICBM.

Kata kuncinya, jika Negara Indonesia ingin mencontoh, sebuah ironi tentunya, maka pimpinan negeri ini harus memiliki Visi jauh kedepan, Nasionalis, konsisten dan piawai dalam memainkan kapital dengan nominal besar, maka tidak akan sulit untuk kembali melampaui mantan murid ini, tanpa harus memiliki Bom Nuklir tentunya.

Bandung, 05 April 2010.

No comments: