KSAU dan Komitmen Nol Kecelakaan
KSAU, Imam Sufaat. (KOMPAS/SUBUR TJAHJONO)
JAKARTA - Isu nol kecelakaan atau zero accident masih menjadi tantangan utama setiap Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, termasuk KSAU yang baru Marsekal Madya Imam Sufaat. Namun, Imam Sufaat tidak main-main untuk mewujudkan target tersebut pada tahun 2010 di tengah minimnya anggaran pertahanan untuk TNI Angkatan Udara.
”Kita berusaha. Kalau Presiden minta saya mundur, mau bagaimana lagi. Saya berbuat yang terbaik bagi TNI AU,” ujar Imam.
Untuk mengetahui pemikiran Marsdya Imam Sufaat, Kompas mewawancarainya di Markas Besar TNI AU Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (21/12).
Bagaimana langkah-langkah mewujudkan target nol kecelakaan tersebut?
Sudah ada Road Map to Zero Accident. Kita upayakan langkah-langkah yang dilaksanakan konsisten. Mulai dari take off saat latihan. Mulai dari engagement air to air, yaitu tidak latihan jauh, tapi dekat dengan pangkalan. Dengan perencanaan yang bagus. Kalau alokasi jam latihan, perlu ada perencanaan bagus. Di atas jangan hilang-hilangan. Kalau enggak dibantu dengan radar, bisa hilang. Kita juga mengombinasikan beberapa jenis latihan jadi satu.
Saya tekankan bahwa komandan skuadron harus kuat penguasaannya. Komandan skuadron harus tahu bagaimana kemampuan kapten pilotnya, komandan flight-nya, wingman-nya, sehingga misi yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas. Misalnya dia enggak mampu dengan misi malam hari, kita tidak latih. Perencanaan betul-betul kita tekankan. Komandan skuadron atau pangkalan harus lihat luar terus (kondisi udara).
Apa kondisi pesawat paling penting dalam pencapaian target nol kecelakaan?
Tidak hanya pesawat, orang juga. Beberapa kali kecelakaan adalah karena human error (kesalahan manusia). Hampir 80 persen human error, apa itu manajemennya atau operatornya.
Bisa dari maintenance (pemeliharaan), operator, atau yang mendukung. Misalnya pangkalan bilang tidak bisa landing (mendarat) karena cuaca. Dia harus berani bilang tidak boleh mendarat. Jangan biarkan pilot mengambil keputusan sendiri.
Ini program 100 hari KSAU?
Iya. Itu yang jangka pendek. Setahun ini (2010) tidak ada kecelakaan. Tahun berikutnya juga kita upayakan (tidak ada lagi kecelakaan).
Apa ada reward and punishment (mekanisme penghargaan dan hukuman) untuk pelanggaran?
Iya. Kita sudah sosialisasi. Yang penting adalah membangkitkan budaya safety (keselamatan) di satuan. Tidak hanya penerbang atau perwira, semua. Di Amerika Serikat pun pesawat canggih seperti F22 pun jatuh. Tapi, there is no room for error di atas. Penerbang tidak boleh salah.
Ini termasuk target berani?
Ya, kita harus berani. Kita usaha. Penerbang harus profesional. Untuk pesawat siap terbang, kan, sudah ada check list-nya. Kita harus upayakan secara fisik juga. Kalau memang ada gangguan, ya itu kehendak Yang di Atas.
Misalnya tahun 2010 ada satu saja pesawat yang jatuh, tindakan apa yang akan diambil?
Kalau dia salah, saya tidak akan segan-segan ganti. Tapi, kalau memang itu di luar kemampuan kita, ya semua harus care (memberi perhatian). Tidak hanya saya, tetapi seluruh Angkatan Udara.
KSAU siap mundur?
Maju mundur terserah Presiden. Kita berusaha. Kalau Presiden minta saya mundur, ya mau bagaimana lagi. Saya berbuat yang terbaik bagi TNI Angkatan Udara. Nanti yang nilai saya Panglima TNI dan Presiden.
Apa benar pesawat TNI Angkatan Udara yang benar-benar siap terbang itu cuma 40 persen?
Memang sangat tergantung anggaran. Tapi, enggak mungkin pesawat itu terus yang dipakai. Kita atur jadwalnya mana yang operasional, mana yang perawatan. Kalau anggaran cukup, ada minimum stock level (tingkat stok minimum) di gudang. Tapi, pesawat yang dipakai memang hanya yang layak untuk terbang.
Bagaimana penjabaran minimum essential forces (kekuatan minimum esensial) di TNI AU?
Itu kan jalan tengah. Yang ideal itu postur kita tahun 2024. Ada kebijakan Presiden, bisa laksanakan tugas pokok kita secara minimum. Kita bisa atasi ancaman pada saat bersamaan di dua trouble spot (titik masalah). Misalnya, TNI Angkatan Darat minta deploy (pengerahan) satu batalyon, kita harus mampu.
Kalau kita lihat dari kondisi negara yang banyak bencana, mau tidak mau TNI AU harus prioritaskan transpornya. Tetapi, sebagai TNI AU, kita harus tekankan pesawat tempur. Kalau hanya pesawat transpor, nanti namanya bukan Angkatan Udara, tapi angkutan udara.
Pesawat baru
Meskipun anggaran terbatas, pengadaan sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) tetap dikakukan. Seperti dijelaskan Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama FHB Soelistyo yang mendampingi KSAU selama wawancara, dalam waktu dekat TNI AU akan memiliki pesawat OV 10 Bronco, HS Hawk MK 53, dan pengganti F5E. Untuk pesawat angkut, TNI AU akan mengganti F 28 VIP, C 212, F 27, dan B 737 MPA. Selain itu, juga menyusul proses pengadaan pesawat jet tanker. Untuk helikopter, pengadaan heli Combat SAR dan heli Colibri. Untuk pesawat latih, ada penggantian AS 202. Untuk radar direncanakan pengadaan radar GCI, GCA, dan radar cuaca.
KSAU Marsdya Imam Sufaat menambahkan, tahun depan juga akan datang sejumlah pesawat tempur Sukhoi dari Rusia.
Sukhoi Su-30MK2 TNI AU
Kalau pengadaan pesawat tempur dalam waktu dekat?
Kita lagi proses untuk ganti OV 10. TNI sudah paparan dan Dephan sudah cocok. Penggantinya sementara ini dari Brasil (Super Tucano). Kita masih perlu pesawat seperti itu untuk pemberantasan pembalakan liar, narkoba, terorisme. Pesawat ini cocok. AS juga pakai di Afganistan. Kecepatan rendah dan biaya operasi lebih murah.
Kalau pengadaan Sukhoi?
Saya sudah minta supaya dipercepat. Mudah-mudahan 5 Oktober 2010 (Hari TNI) sudah ada.
Pemanfaatan simulator bagaimana?
Simulator sangat membantu karena biaya sehari-hari rendah, tapi harus efisien sehingga kalau kita punya banyak pesawat baru kita adakan simulatornya, biar tidak rugi. Harga satu simulator bisa 1,5 harga pesawat. Kita di Indonesia sudah bisa buat simulator yang standar. Di antaranya dengan simulator F 16, sehingga walau jam terbang sedikit, pilotnya bisa jago-jago.
Bagaimana pemenuhan alutsista oleh industri dalam negeri?
Tidak benar kalau ada pendapat TNI AU tidak ingin memakai produksi dalam negeri. Sejak awal TNI AU sudah pakai hasil PT DI, misalnya Cassa 212, CN 235. Puma, yang harganya mahal, kita beli. Sekarang lagi dirintis oleh Dephan kerja sama dengan Korea untuk buat pesawat tempur.
Bagaimana soal suku cadang pesawat palsu?
Yang nakal-nakal itu sudah kita tindak.
Apa kekuatan TNI AU punya efek detterent (penggentaran)?
Itu idealmya. Kata pengamat, sesuai dengan luas negara kita, bisa butuh 80 skuadron tempur. Tapi, itu tidak mungkin. Kita memerhatikan kemampuan negara. Tetapi, kita punya perencanaan sampai 2019 dan 2024.
Kemampuan penerbang-penerbang kita bagaimana?
Di Singapura dan Malaysia ada masalah perekrutan. Tidak banyak yang mau masuk Angkatan Udara. Di kita, dari lulusan SMA, cari yang nilai 8 ke atas tidak susah. Untuk AAU, kita sudah naikkan batas indeks prestasinya. Dari 2,5 jadi 2,7 sekarang. Nanti kita naikkan jadi 3. Sekarang yang di atas 3 ada sekitar 40 persen. Orangnya pintar, berdedikasi, sehingga keselamatan bisa ditekankan.
Masih banyak pelanggaran wilayah udara?
Tidak banyak. Selalu pasti kita laporkan ke Panglima TNI.
Sumber : KOMPAS
No comments:
Post a Comment