Paradigma Peperangan & Perdamaian di Millenium ke Tiga (II)
Oleh : Edi S Saepudin., SP.
Tercatat Napoleon Bonaparte (Abad 19), selama kampanye peperangannya di Eropa, yang mengadopsi strategi Tsun Tzu, ia kombinasikan dengan kecemerlangan dirinya, jurnal dan grand strateginya dituliskan oleh dua orang jendralnya, pertama Henri Jomini (1779 – 1869) seorang jendral berkebangsaan Swiss, dan kedua Karl von Clausewitz (1780 – 1831) berkebangsaan Jerman.
Jendral Jepang yang mengadopsi strategi Tsun Tzu adalah Yamashita, disepanjang kampanyenya di asia tenggara, terutama saat menggulung semenanjung Malaysia, Singapura, dan Hindia Belanda dengan menggembor-gemborkan propaganda “Asia Timur Raya”.
Pergeseran orientasi peperangan terjadi saat ahli-ahli strategi dinegara-negara maju mengadopsi pemikiran Jomini dan Von Clausewitz, dan mengejawantahkannya dalam bentuk penggalian sumberdaya inovasi dan teknologi, untuk kepentingan kemajuan dan pengembangan strategi dan peralatan persenjataan. Puncak dari segala pengembangan persenjataan berdasarkan konsep Karl von Clausewitz adalah senjata nuklir (bom atom).
Segera setelah itu, muncul kesadaran baru, bahwa eksplorasi “perlunya penggunaan kekerasan tanpa batas untuk memperoleh kemenangan perang”, seperti apa yang menjadi inti pemikiran Karl von Clausewitz telah mencapai puncaknya, dan bahwa dengan senjata yang tercipta itu, bahkan bukan hanya kemenangan perang yang dapat diraih, tapi sekaligus penghancuran peradaban manusia.
Kepemilikan senjata nuklir oleh pihak musuh dalam tanda kutip, adalah sebuah deterent tak terkira dalam kapasitasnya sebagai alat tindak balas, dan bahwa penggunaan nuklir secara masif dalam sebuah peperangan, akan mempertaruhkan dunia dan seisinya..
Orientasi perang pada masa kekinian telah benar-benar berubah, metamorfosa strategi peperangan telah mengalami perubahan bentuk menjadi bentuk-bentuk halus, bentuk-bentuk yang tercipta, lebih mengutamakan kecerdasan dengan dukungan teknologi yang semakin canggih.
Konsep ”kekuatan moral dan intelektual bersifat menentukan dalam memenangkan perang” dan “Strategi yang baik adalah, strategi yang dapat membawa kemenangan perang tanpa banyak penggunaan kekerasan dan pertumpahan darah”, serta “yang penting adalah penentuan dan pelaksanaan tindakan-tindakan sebelum perang yang sebenarnya”, telah diadopsi dan dikembangkan menjadi bentuk-bentuk strategi halus, dalam bentuk tipu muslihat dan misi-misi dis-informasi canggih serta kasat mata.
Sebuah pertunjukan akan keberhasilan dan efek dari pelaksanaan strategi Tsun Tzu, di awal millenium ketiga ini, dipertontonkan para pemikir strategi Amerika Serikat. Mereka mampu membuktikan kepiawaian mereka dalam mengadopsi strategi Tsun Tzu saat menginvasi Irak.
Bagaimana perang Opini yang dilancarkan dan misi-misi dis-informasi mereka, telah berhasil menipu dan meluluhkan hati rakyat Irak, sehingga ketika mereka masuk Baghdad, mereka dielu-elukan sebagai “tentara pembebas, sebagai pahlawan”, sebuah kejadian tragis dan ironis bagi kesejarahan bangsa besar dan tua sekelas Bangsa Irak.
Tentara AS di Iraq
Pada dua dekade terakhir abad 20, semua ekonom telah mengatakan dan sepakat, bahwa milenium ketiga akan menjadi milik wilayah asia pasifik. Sekali lagi “kepentingan” menjadi sentral ide dan bahasan, fakta akan munculnya negara industri baru memunculkan asumsi-asumsi. Betapapun hal tersebut adalah sebuah proses alamiah dari pertumbuhan sebuah peradaban manusia, perkembangan positif ini telah dipandang sebagai resiko, akan munculnya saingan/rival baru dalam percaturan perekonomian dunia.
Upaya menjegal dan menghambat kemunculan negara-negara industri baru ini, telah disusun dengan begitu brilian, sehingga bukan hanya mampu menjatuhkan mereka, tetapi sekaligus mampu menggelontorkan keuntungan tak terkira bagi negara-negara maju.
Hanya ketika mereka mengguncang negara maju sekelas Jepang, mereka segera menyadari, bahwa kekuatan ekonomi negeri itu, memiliki pasukan tersendiri, yang suka atau tidak, mereka harus mengakui, bahwa mereka merasa gentar untuk berhadap-hadapan secara langsung.
Gelombang terbesar serangan yang dilakukan pada dekade terakhir abad itu, menjadi gelombang pasang kalau tidak bisa dikatakan tsunami, bagi negara-negara dibelahan pasifik, mulai dari asia tenggara hingga asia timur.
Berapa kerugian Jepang akibat gelombang serangan itu, 1.4 triliun dolar raib, padahal itu hanya dari bank centralnya saja, dan tanyakan pada diri kita, berapa negara ini mengalami kerugian?. Peperangan dalam konteks kekinian telah menjadi peperangan non-kombatan, karena apa yang mejadi persengketaan adalah “kepentingan”.
Bentuk-bentuk pembangkangan seperti yang dilakukan Korea Utara, Iran dan Venezuela, harus menjadi contoh negatif, bentuk-bentuk demikian mengandung resiko dan pertaruhan yang teramat besar. Hanya karena Korea Utara telah memiliki nuklir saja, sehingga negara ini dikeluarkan dari agenda sebelum Irak, dan hanya karena militansi rakyatnya saja, kenapa hingga saat ini Iran belum masuk jadwal dalam agenda, sedangkan kenapa Venezuela belum masuk jadwal, lebih dikarenakan ada beberapa pijakan yang telah mereka tanam dianak benua sana, sehingga tak perlu terlalu dipedulikan dan dianggap.
Rudal permukaan Korea Utara
Apa yang dilakukan Mesir, Malaysia, dan yang paling menonjol adalah China, India dan Fakistan adalah sebuah contoh kecerdasan para pemikir strategi bangsa-bangsa itu, dalam memenangkan peperangan yang sebenarnya pada khazanah kekinian.
Contoh kemenangan paling cemerlang ditunjukan oleh negara tirai bambu, dan sungguh tidaklah aneh, karena strategi yang digunakan agresor akarnya tumbuh dinegeri ini. Tidak perlu malu kita datangi negeri ini, dan belajarlah dari mereka, bukankah seperti yang dikatakan BJ. Habibie dalam sebuah tayangan televisi, merekapun tidak malu untuk bertanya dan belajar pada kita pada suatu masa dulu.
Bangsa ini berani dengan tegas menunjukkan integritasnya sebagai negara besar, sebagai negara merdeka dalam arti sebenarnya, ada saatnya mereka mengikuti dan pada saat lain mereka menolak, bahkan dalam hal yang ekstrim mereka berani menyatakan perang terhadap sebuah kebijakan dan aturan internasional yang dipaksakan.
Mereka berani berdiri menunjukan jati dirinya, pada satu saat mereka adalah teman atau bahkan sahabat, tapi pada saat lain, mereka dengan tegas menunjukkan sikap sebagai musuh, “luwes, licin dan Brilian”. Haramkah hal ini, tentu tidak dalam kacamata politik negara dalam khazanah internasional, “kepentingan” kuncinya.
Apa yang kita lihat sekarang, negeri ini (China) leading dalam berbagai sektor, secara ekonomi mereka bukan hanya dianggap harus diperhitungkan, malah sudah dianggap ancaman, secara militer negeri ini dianggap mengkhawatirkan kalau tidak bisa dikatakan mulai menakutkan.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment