Friday, June 12, 2009

Paradigma Peperangan & Perdamaian di Millenium ke Tiga (I)



Oleh : Edi S Saepudin., SP.

Sebuah Pemikiran Mengenai Pergeseran Peperangan Yang Menjadi Terlalu Penting Untuk Menjadi Urusan Para Jendral Saja, dan Perdamaian Yang Menjadi Terlalu Rumit Untuk Dikendalikan Para Politisi Saja.

Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 14 PRP (UU No. 14 PRP) tahun 1980 dan dengan ratifikasi United Nations Convention Law of the Sea III (UNCLOS III) dalam UU No. 17 tahun 1985, memiliki luas 5 juta km2, ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai dengan UU No.5 tahun 1983 seluas 2.7 juta km2, sehingga total memiliki luas 7.7 juta km2, tentu saja kini, minus luas yang hilang sebagai akibat lepasnya Sipadan-Ligitan dan Timor Timur. Sebagai sebuah negara Kepulauan, negeri ini demikian besar, terdiri atas 13.677 pulau dengan jarak Sabang sampai Merauke sejauh 5.400 Km, setara dengan jarak dari London hingga Teheran.

Jika membayangkan menjadi seorang pemimpin disebuah negara sebesar ini, padahal jika melihat Globe, jarak sejauh itu dipisahkan atau dengan kata yang lebih tepat, terbentang menjadi lebih dari 10 negara. Dan jika harus membayangkan bagaimana mempertahankan dan menjaga keutuhan negara ini, betapapun falsapah pada jaman kekinian adalah “Imagination is more fowerfull”, yang terbayang bukan bagaimana caranya tetapi malah kebesaran dan kepiawaian sesepuh negeri dalam meletakan dasar dan falsapah negara ini, sehingga jiwa bangsa ini, jiwa seluruh rakyat negeri ini begitu kuat terekat, bahkan hingga kini saat menjelang memasuki generasi ke-tiga.

Mempertahankan keutuhan negara memiliki arti mempersiapkan diri, berfikir dan bertindak dalam mempertahankan negara, dari setiap jenis ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, terhadap negara. Dalam konteks yang lebih spesifik akan menyangkut, kesiapan untuk menghadapi sebuah kondisi terburuk, kondisi dimana kita harus berhadapan secara frontal dengan siapapun yang berniat dan melakukan tindakan-tindakan nyata, mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam arti perang.


Kawasan laut Ambalat yang diperdebatkan

Dalam perjalanannya, perang dan peperangan telah mengalami metamorfosa atau evolusi bentuk serta palagan. Siapapun yang secara intens mempelajari strategi peperangan dan sejarah peperangan di berbagai belahan dunia, dari jaman oriental hingga peperangan dunia I dan II, akan sepakat, bahwa pemikiran dan penyusunan strategi perang sangat dipengaruhi oleh tulisan seorang pemikir strategi (filsup) China yang bernama Tsun Tzu (500 SM).

Dasar pemikiran Tsun Tzu yang kemudian diadopsi jendral-jendral terkenal kelas dunia, antara lain “Perang adalah sebuah perkara yang sangat serius bagi suatu bangsa” dan, bahwa ”kekuatan moral dan intelektual bersifat menentukan dalam memenangkan perang” beliau menjabarkan “Strategi yang baik adalah, strategi yang dapat membawa kemenangan perang tanpa banyak penggunaan kekerasan dan pertumpahan darah, oleh sebab itu yang penting adalah penentuan dan pelaksanaan tindakan-tindakan sebelum perang yang sebenarnya”.

Tercatat Napoleon Bonaparte (Abad 19), selama kampanye peperangannya di Eropa, yang mengadopsi strategi Tsun Tzu, ia kombinasikan dengan kecemerlangan dirinya, jurnal dan grand strateginya dituliskan oleh dua orang jendralnya, pertama Henri Jomini (1779 – 1869) seorang jendral berkebangsaan Swiss, dan kedua Karl von Clausewitz (1780 – 1831) berkebangsaan Jerman.

Bersambung...

No comments: