Friday, April 17, 2009

Membangun TNI Perlu Kesinambungan

JAKARTA - Hanya satu hal yang selalu terpatri di benak Marsda TNI Eris Herryanto, Direktur Jenderal Sarana Pertahanan (Ranahan) Dephan, setiap kali akan meloloskan kontrak pengadaan alutsista TNI dengan pihak luar. "Transfer teknologi," ujar Eris, mantan penerbang F-16 Fighting Falcon ini singkat.

Alih teknologi seperti harga mati. Sikap tanpa kompromi berikutnya adalah, keharusan menggunakan produk dalam negeri jika nyata-nyata BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis) dan industri swasta mampu membuatnya. "Wajib hukumnya," aku Eris.

Sejauh ini untuk senjata perorangan dan berbagai jenis peluru, TNI sepenuhnya beli dari Pindad. Termasuk kendaraan tempur, kapal patroli, dan pesawat angkut ringan.

Sebagai pejabat yang bertanggung jawab penuh dalam hal pengadaan peralatan TNI bersifat pembangunan yang dibiayai kredit ekspor (KE), devisa atau APBN yang sifatnya pembangunan, Eris tentu sadar bahwa direktorat yang dipimpinnya sangat vital. Kekeliruan apalagi aksi main mata pihaknya dengan pabrikan atau rekanan TNI, bisa berakibat fatal terhadap prajurit di lapangan.

"Untuk itu saya harus betul-betul tahu rincian klausul dari kontrak sebagai pedoman," beber Eris lagi. Selain mengurusi soal pengadaan, Dirjen Ranahan juga mengikuti kebijakan Mabes TNI seputar hibah alutsista dari negara lain.

Seperti saat ini pihak Korea Selatan berencana menghibahkan 20-an LVT (Landing Vehicle Tracked) kepada TNI. Untuk menjawab semua persoalan ini, berikut petikan wawancara Beny Adrian dengan Marsda Eris Herryanto di ruang kerjanya di Dephan.

Pengadaan alutsista sering menimbulkan kecurigaan publik. Pemerintah dituding maju mundur?

Soal pemerintah dibilang maju mundur, menurut saya hanya persepsi yang berasal dari media massa. Pembangunan kekuatan pertahanan kita didasari pada dua hal yaitu capability base defence dan budget base defence. Untuk itu kami menginventarisir, kemampuan apa saja yang bisa dilakukan BUMNIS. Kalau bisa dibuat di dalam negeri, hukumnya wajib. Selain itu TNI juga harus memenuhi kebutuhan alutsista berstandar tinggi.

Nah, di sini tugas saya untuk memasukkan unsur transfer teknologi. Seperti saat ini kita sedang mengadakan panser kanon. Pindad belum punya kemampuan sepenuhnya untuk ini. Lalu kami kerjasama dengan Korsel dengan melibatkan Pindad.

Pindad mempelajari cara mengintegrasikan platform dengan kanon 90 mm dan kemampuan amfibi. Karena panser kanon Korea ini punya radius belok' kecil sekali, 6,5 m, Pindad juga mempelajari. Jadi tidak benar pemerintah seperti yang disebutkan.


Berapa jumlah panser kanon yang kita beli?

Prosesnya mirip pengadaan kapal LPD (Landing Platform Dock). Kita beli 22 panser kanon dengan kesepakatan 11 dibuat di Korea sisanya di Pindad. Sesuai kontrak mereka berikan technical data package (TDP) dan manufacture data package (MDP). Artinya drawing design dan manufacture mereka berikan. Ini sudah deal.

Sejumlah BUMNIS mengeluhkan sepi order. Dimana letak persoalannya?

Semua pihak harus bekerjasama dan melihat dirinya sendiri. Masing-masing punya kepentingan dan sudut pandang. Saya paham yang disampaikan industri, tidak salah. Saya tidak menyalahkan mereka, mereka untuk overhead coast saja tinggi.

Namun jika kami sebagai pelaksana pengadaan hanya diberi dana segitu, terus bagaimana? Sementara industri ingin hidup. Namun kami tidak menyerah. Berbagai upaya dilakukan untuk mempromosikan mereka seperti mengajak ikut pameran di luar negeri. Itu fungsi kami sebagai pembina industri dalam negeri.

Bisa Anda jelaskan rencana-rencana pengadaan TNI ke depannya?

Rencana untuk tahun 2006-2009 yang harus dipenuhi dari dalam negeri adalah pengadaan kendaran taktis, panser escape, helikopter NBO-105, dan rantis 3/4 ton sebanyak 300 unit.

Untuk rantis 3/4 kami libatkan AIPO (Asosiasi Industri Pertahanan Otomotif) sebagai konsultan. Jika desain sudah disetujui, kami akan buka tender buat industri otomotif untuk membuat prototipe yang kemudian dilombakan.

Kami sengaja libatkan TNI AD sebagai calon user agar konsep sesuai kebutuhan. Oh ya, selain itu saat ini juga tengah berlangsung pengerjaan dua unit LCU (landing craft utility) 1.000 DWT milik TNI AD di Kodja Bahari. Ini swasta biasa loh, bukan BMUNIS. Saya juga bisa sampaikan bahwa TNI AL berminat terhadap rudal jelajah Brahmos.


Satu program pembelian yang masih tanda tanya yaitu soal kapal selam?

Dengan berpedoman kepada keinginan TNI AL, saya sudah undang dua pabrikan ke sini untuk 4 presentasi. Saya bilang bahwa kita akan beli dua kapal selam. Konsep apa yang akan Anda berikan kepada kami, akan jadi pertimbangan bagi kami untuk memilih Anda.

Dari kedua perusahaan menyampaikan bahwa, jika Indonesia beli empat kapal selam dalam program 25 tahun ke depan, maka yang keempat Indonesia sudah bisa bikin dengan under control mereka. Bisa di buat di PT PAL. Saya tanya lagi, kok Anda begitu yakin di yang keempat bisa. Ternyata mereka sudah survei ke PAL.


Kedua pabrikan dari negara mana?

Apa perlu saya sampaikan ... he he he. Yang jelas mereka sudah melakukan transfer teknologi di tujuh negara.


Sejauh ini hanya perusahaan HDW-Kiel Jerman yang memberikan lisensi pembuatan kapal selam kelas 209 ke 7 negara.

Kembali ke tudingan sikap pemerintah, mungkin disebabkan oleh adanya informasi yang belum tersalurkan?

Yang jelas selama rencana belum dimasukkan ke dalam green book, belum ada duitnya dan kami juga tidak bisa jalan. Kondisi ini mungkin belum diketahui industri. Kadang sudah saling mengerti namun bingung, di mana ya salahnya. Menurut saya di birokrasi.

Hebatnya Ranahan itu, karena menjadi jembatan dari pemerintah ke industri. Jadi saya dengar keluhan dari berbagai pihak. Saya dengar keluhan pengguna, keluhan BUMNIS, yang kasih uang, dan Bappenas yang merencanakan. Jadi kami di sini pahamlah situasinya. Makanya setiap celah itu saya caba manfaatkan semaksimum mungkin dengan menaikkan nama industri kita dan menjelaskan kepada user hingga mereka yakin menggunakannya.


Dirjen Ranahan memiliki tugas membina industri pertahanan dalam negeri. Seperti apa konkritnya?

Kami ada pertemuan tiga bulanan dengan industri dalam negeri, baik BUMNIS atau bukan. Semua kami kumpulkan di sini beserta lima departemen pembina industri yaitu perindustrian, BUMN, Bappenas, Keuangan, Pertahanan, Ristek, plus Industri Strategis dan TNI. Rapat dipimpin Sekjen Dephan. Dalam pertemuan ini, semua persoalan didikusikan.

Jumlah pesanan panser di Pindad dikurangi. Kenapa bisa begitu?

Saya tidak bisa jawab secara detail. Namun yang jelas, pengadaan panser Pindad yang diprakarsai Wapres ini juga melibatkan industri asing yaitu Renault untuk urusan mesin. Direncanakan sampai November ini, akan didatangkan 150 mesin dari Renault.

Kebutuhan TNI adalah 154 panser, namun karena anggaran yang terseclia sementara baru untuk 40 panser, jadinya ya kami beli segitu dulu. Membangun TNI dan melengkapi alat pertahanan itu butuh tah unan dan kesinambungan.


Dikutip dari : ANGKASA Edisi Alutsista Dalam Negeri

No comments: