Tuesday, June 24, 2008

Industri Strategis Terbelit Dana Kredit

Di satu hanggar PT Dirgantara Indonesia teronggok lima unit helikapter NAS-332 Mk-1 Super Puma tanpa baling-baling. Mesin dan sebagian panel elektronik sudah terpasang. Kulitnya baru dihiasi cat dasar. "Sebentarlagi sudah bisa diterbangkan," kata seorang karyawan PT Dirgantara Indonesia, Rakhendi Triyatno, pekan 1alu.

Meski lima helikopter siap terbang, karyawan lain membisikkan bahwa capung besi itu bukanlah pesanan Departemen Pertahanan. Pemerintah memang memesan 16 helikopter ke PT Dirgantara, namun sembilan helikopter masih belum jelas kapan selesainya.

Proyek terhenti, kata Direktur Keuangan dan Administrasi Frans Ralie Siregar, lantaran Dephan tak menggelontorkan biaya lagi. "Kalau pemerintah mengucurkan dananya, ya kami lanjutkan," kata Frans.

Kontrak ke PT Dirgantara merupakan salah satu upaya pemerintah mengaktifkan kembali industri peralatan militer dalam negeri. Selain Dirgantara, pemerintah memesan peralatan militer dari PT Pindad dan PT Len Industri. Pemerintah tak hanya memesan Super Puma, tetapi juga jenis alutsista lain.

Anggota Komisi Pertahanan DPR, Djoko Susilo, mengatakan pemerintah telah mengalihkan pembelian "Skytruck" dari Polandia untuk pengganti Nomad ke PT Dirgantara.

Sejak dipesan 2003 lalu, kata Djaka, PT Dirgantara belum juga menyediakannya. Dengan alasan belum jelas manajemennya, DPR dan pemerintah menunda pembahasan anggarannya. Padahal, kata Djaka, "Pemerintah sudah mengajukan anggaran Rp 750 miliar untuk PTDI pada 5 Maret lalu.



"Begitu pula dengan Proyek 150 panser Pindad yang juga tersendat. Kendati mulai mencicil pengerjaannya (merakit bodi), sampai dengan saat ini Pindad belum menerima surat kontrak oleh Departemen Pertahanan."

Padahal dengan surat kontrak ini, kata Direktur Produk Komersial Pindad Wahyu Utomo, perusahaannya bisa menjaminkannya pada bank. Dana ini juga bisa menutupi kekurangan biaya penyelesaian seluruh pesanan.

Departemen hanya memberi lampu hijau, tapi fisik kontraknya belum dibuat," kata Wahyu. Pengadaan alat militer kerap terbentur soal biaya. Anggaran negara tak mampu menanggung porsi dana pengadaan. Selama ini pemerintah membiayai pengadaan alat militer dengan kredit ekspor, namun pilihan kredit ekspor menjadikan Indonesia selalu bergantung pada negara lain.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berencana mengurangi ketergantungan pada produsen luar negeri. Caranya, dengan membangkitkan kembali produksi industri strategis pertahanan dalam negeri.

Namun, perubahan sistem kredit ekspor menjadi kredit dalam negeri masih terhambat oleh aturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasianal/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Keuangan Sri Mulyani belum menyetujui mengenai perubahan inj.

Aturan baru ini nantinya memungkinkan pemerintah mendanai proyek alat militer dengan pinjaman bank atau pemerintah daerah. Departemen Keuangan mengisyaratkan aturan akan segera selesai.

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto mengatakan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pinjaman Dalam Negeri sudah dibahas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sumber : KORANTEMPO

No comments: