Saturday, June 21, 2008

Industri Pertahanan : Niat Mandiri Tidak Diikuti Sinkronisasi Kebijakan

Jakarta, Kompas - Komitmen pemerintah dalam membangun kemandirian industri pertahanan dalam negeri masih diragukan. Beberapa hal dinilai dapat dijadikan indikasi ketidakseriusan itu, misalnya terkait tak adanya kesatupaduan (sinkronisasi) kebijakan antardepartemen yang seharusnya saling terkait dan mendukung kemandirian industri pertahanan.

Kondisi itu, misalnya, berdampak pada munculnya kebijakan rencana privatisasi PT Krakatau Steel baru-baru ini. Padahal, menurut pemerhati pertahanan dan militer, Kusnanto Anggoro, di Jakarta, Kamis (19/6), keberadaan PT Krakatau Steel sebagai industri inti pemasok bahan baku baja seharusnya terlindungi dan tetap dikuasai negara untuk kemandirian industri pertahanan.

”Konsistensi komitmen yang dinyatakan seorang pejabat negara bisa saja tidak berlanjut. Salah satunya, mungkin karena ada masalah yang menyebabkan rencana jangka panjang tak terpenuhi. Padahal, yang namanya siklus pertahanan itu sangat panjang,” lanjutnya.

Menurut Kusnanto, kesalahan kebijakan atau pelaksanaan yang terjadi saat ini baru akan terasa dampaknya lima hingga 10 tahun mendatang. Jika kondisi macam itu terus terjadi, suatu saat akan terjadi jurang kapabilitas yang sangat lebar dan dalam pada sektor pertahanan Indonesia.

”Di negara mana pun, yang namanya industri baja adalah bagian dari industri dasar. Apa ada yang bisa membayangkan negara seperti Jerman menjual industri bajanya? Seharusnya kita jangan sampai menggadaikan masa depan seperti itu,” ujarnya.

Hal itu disampaikan Kusnanto seusai menghadiri peresmian lembaga penelitian Institute of Defense and Security Studies (Iodas). Hadir pula sejumlah peneliti dan pengamat pertahanan, seperti Edy Prasetyono, Andi Widjojanto, Hari T Prihartono, Jaleswari Pramowardhani, dan Connie Rahakundini Bakrie (Dewan Komisioner Iodas).

”Apa yang terjadi belakangan ini sebenarnya menarik. Pada satu sisi, pemerintah menyatakan ingin membangun kemandirian industri pertahanan, tetapi, di sisi lain, industri seperti PT Krakatau Steel mau dilepas. Tampak sekali di situ terdapat ketidaksinkronan kebijakan,” ujar Connie.

Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri, yang hadir dalam acara itu, mengaku kagum dengan kehebatan Turki yang kini memiliki kemampuan memproduksi senjata setara dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Padahal, kata Gumilar, Turki sama seperti Indonesia, pernah diembargo persenjataannya oleh Eropa Barat dan AS. Walau diembargo, Turki mampu membuktikan industri militernya memproduksi panser dan tank, yang kualitasnya setara dengan produksi Perancis dan Jerman.

”Bahkan, mereka mempunyai keunggulan. Industri di Turki didukung tenaga kerja yang lebih murah dan lebih bekerja keras daripada, misalnya, tenaga kerja Jerman, yang lebih banyak menggunakan waktu liburan, terutama musim panas untuk berlibur,” ujar Gumilar lagi. (dwa)

Sumber : KOMPAS

No comments: