Thursday, December 27, 2007

Panser 'Made In' Kiaracondong



Pemerintah mengerem impor senjata dan mengutamakan produk dalam negeri. Masih banyak pekerjaan rumah.

SEORANG teknisi PT Dirgantara Indonesia terlihat sibuk memasang pipa pada sistem pengisian bahan bakar helikopter Super Puma. "Ini pipa ventilasi untuk tangki kiri heli," kata Affendi, teknisi itu, sambiI memperbaiki posisi kacamatanya.

Di hanggar Pindad di Bandung, ia cekatan menjelaskan satu per satu bagian mesin pesawat itu. "Di kanan ada dua tangki bahan bakar, di kiri ada tiga." Pada Jumat dua pekan lalu, hanggar itu terasa hidup dengan suara dentang peralatan besl dan dengung mesin.

Selain Affendi, ada 15 teknisi lain yang sedang mengerjakan tiga helikopter. "Yang ini baru selesai 20 persen," kata Affendi seraya menunjuk helikoptel' yang sedang dia kerjakan. Dua helikopter lain hampir selesai. "Tinggal menyelesaikan sistem radar dan beberapa bagian mesin," kata Wawan Setiawan, koleganya.

Tiga buah helikopter itu adalah pesanan TNI Angkatan Udara. Selain menyelesaikan heli, Dirgantara juga sedang mengerjakan dua helikopter Combat SAR Cougar dan pesawat CN-235MPA untuk patroli laut.



"Semuanya ditargetkan selesai pada 2009," kata Budiwuraskito, Direktur Integrasi Pesawat Terbang perusahaan tersebut. Setelah itu, order lain sudah menunggu. Belasan pesawat Fokker 27 milik TNI AU juga kabarnya akan diganti CN-235. Inilah hasil dari kebijakan pemerintah untuk mengalihkan pembuatan sistem persenjataan TNI secara bertahap ke industri dalam negeri.

Pada awal Desember lalu, dalam rapat koordinasi pengadaan alat utama sistem persenjataan yang diadakan di kantor Pindad, Bandung, Wakil Presiden JusuI Kalla menegaskan kembali kebijakan itu. "Buatan dalam negeri lebih murah 50-60 persen," kata Kalla. Dia juga meminta PT Pindad menyelesaikan 150 panser pesanan TNI Angkatan Darat sebelum peringatan ulang tahun TNl, 5 Oktober tahun depan.

•••

KEBIJAKAN revitalisasi industri pertahanan dalam negeri sebenarnya bukan hal baru. Awalnya adalah kunjungan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Departemen Pertahanan untuk sebuah diskusi pada Februari 2005.

Salah satu topik diskusi adalah pengadaan sistern persenjataan TNI. Pilihan untuk rnengembangkan industri pertahanan dinilai strategis, mengingat embargo senjata Indonesia oleh Amerika Serikat saja baru berakhir dua tahun lalu.

"Sejak kunjungan Presiden itu, setiap tiga bulan, kami mengadakan rapat khusus membahas program ini," kata Marsekal Madya Eris Heryanto, Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Departermen pertahanan.

Rapat diadakan bergantian di kantor BUMN industri strategis yang terlibat. Selain Dirgantara, ujung tombak program ambisius ini adalah PT. Pindad (pabrik persenjataan dan amunisi), PAL indonesia (Kapal), PT Dahana (bahan peledak), dan PT LEN (instalasi listrik, elektronik dan alat komunikasi).

"Jadi kami berpindah-pindah. Bulan rapat di PT PAL, berikutnya bisa di PT Dahana," kata Eris.

Salah satu keputusan penting rapat itu, kata Eris, adalah keluarnya daftar inventarisasi jenis persenjataan yang bisa disediakan di dalam negeri. .



Juga cetak biru industri pertahanan nasional. Sayangnya, Eris enggan mengungkapkan substansi kedua dokumen itu, 'Belum final," katanya berkelit.

Meski belum final, tahun lalu pemerintah mulai melaksanakan kebijakan ini. Budiwuraskito mengakui, Dirgantara sudah mendapat order senilai Rp 11,8 triliun untuk menyelesaikan semua pesanan TNI sebelum 2008.

Dua pekan lalu, PT PAL Indonesia bahkan sudah menyerahkan bagian pertama dari order besar TNI Angkatan Laut berupa dua buah kapal angkut taktis (Landing Platform Dock) dengan panjang 25 meter.

•••

KUNJUNGAN Jusuf Kalla ke PT Pindad, awal Desember lalu, sebenarnya lebih untuk mengevaluasi perkembangan order pemerintah itu. Maklum, waktu penyerahan order sering menjadi kelemahan industri pertahanan dalam negeri.

Sumber Tempo yang mengikuti jalannya rapat menuturkan bagaimana Kalla meminta PT PAL Indonesia menyempurnakan rencana kerja program pembuatan kapal korvet mereka. "Ada beberapa poin yang masih perlu dibuat lebih detail lagi," tuturnya.

Setelah kunjungan Kalla, para petinggi industri pertahanan iangsung bergerak. Direktur PT Pindad, Adik Avian Soedarsono, pekan laiu terbang ke Korea Selatan. Ditemani Trihardjono, Direktur Penelitian dan Pengembangan Pindad, Adik menandatangani nota kesepahaman (MoA) untuk alih teknoiogi pembuatan panser dengan Rotem, anak perusahaan Hyundai Motors.


Panser (6x6) dan Tank K-1 buatan Rotem Company, anak perusahaan Hyundai Motors, Korea.

Di pabriknya di Kiaracondong, Bandung, Divisi Kendaraan Fungsi Khusus Pindad juga ngebut mempersiapkan mekanisme produksi massal panser ini. "Januari, pesanan harus mulai dikerjakan," kata juru bicara Pindad, Timbul Sitompul.

Sayangnya, program ini bukannya tanpa kendala. Tantangan pertama adalah soal teknologi. Sebagian besar industri pertahanan Indonesia baru sebatas perakitan. Adapun mesin dan teknologi vital lainnya masih diimpor. Ini tentu amat riskan.

Sumber Tempo menuturkan bagaimana negara-negara Eropa amat detail memasang persyaratan penggunaan mesinnya yang diimpor ke Indonesia. "Mesin untuk kebutuhan komersial tidak boleh dipasang di kendaraan militer," keluhnya.

Solusi bukannya tidak ada. Prototip Panser APS 6x6 yang dipamerkan Pindad di Cilangkap, dalam peringatan ulang tahun TNI tahun lalu, misalnya, menggunakan mesin Steyr, yang lisensinya dipegang pabrik Texmaco di Subang, Jawa Barat.


Prototip panser 6x6 buatan Pindad

Hanya, sejak lima tuhun lalu pabrik itu memang seperti mati suri. Tempo, yang bcrkunjung ke pabrik Texmaco dua pekan lalu, hanya disambut petugas keamanan. Produksi perusahaan itu tinggal 20 persen dari kapasitas terpasang.

Pabrik yang pernah berjaya dengan produksi truk Perkasa itu memang dililit utang Rp 29,2 triliun. Statusnya kini di bawah penguasaan PT. Perusahaan Pengelola Aset dan Departemen Keuangan.

"Rumput di pekarangan sudah tinggi, atapnya bocor, dan mesinnya diselimuti debu," kata Direktur PT Texmaco Perkasa Engineering. Neflizon Abdullah, ketika ditemui di Jakarta dua pekan lalu.

Namun dia yakin, Texmaco bisa bangkit lagi dalam satu tuhun. "Dengan syarat, pemerintah mencarikan investor baru," katanya.

Menurut Neflizon, Departemen Pertahanan pernah mengutarakan minatnya mengambil alih pabrik itu. Sayang, niat itu tidak didukung audit Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi (BPPT).

Kendala lain adalah soal duit. Dana Rp 1,8 triliun untuk order 2006-2009 di PT Dirgantara, misalnya, sampai kini belum turun. "Padahal kami sudah membeli banyak material untuk proyek ini," kata Budiwuraskito.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden di Pindad pada awal Desember lalu, direksi Bank Mandiri, BNI, dan BRI siap meminjamkan Rp 3 triliun untuk membiayai order persenjataan ini.

Sayangnya, duit itu belum bisa segera cair. Penyebabnya aturannya belum ada. Dalam hal ini, Departemen Pertahanan hanya bisa angkat tangan. "Mekanisme anggarannya masih dibicarakan di Departemen Keuangan," kata Marsekal Madya Eris Heryanto.

Dikutip dari :
Majalah Tempo Edisi Khusus Akhir Tahun (24-30 Desember 2007)

Penulis :
Wahyu Dhyatmika, Erick Priberkah, Ahmad Fikri (Bandung), Anton Septian (Subang), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

No comments: