Membendung Calo Alutsista,Tangkal Prasangka
Anggaran pengadaan alat utama sistem pertahanan (alustista) untuk TNI berpeluang diselewengkan. Departemen Pertahanan (Dephan) harus jeli menghindari calo.
Perang argumen sempat terlancar antara Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono dan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini. Saling tuding mengenai keberadaan calo pengadaan alutsista sempat membingungkan khalayak ramai. Rakyat menjadi penonton yang bingung dalam sebuah lomba adu pernyataan tanpa wasit. Masalah menjadi runyam ketika anggota DPR, terutama komisi I, merasa ditunjuk hidungnya oleh pernyataan Menhan.
Panasnya situasi yang tercipta bahkan membuat beberapa anggota Dewan tersebut melontarkan tudingan balik yang pedas pada Menhan. Meja hijau pun sempat menjadi wacana untuk menyelesaikan masalah tuding menuding tersebut. Akar masalah yaitu ucapan siapa yang layak untuk dipercaya makin kabur dengan suasana yang kian menghangat.
Akhirnya, pada Senin (29/10), gaya kekeluargaan ala Indonesia dipilih untuk mengakhiri polemik tersebut. Kedua pihak yang berseteru akhirnya menemui jalan tengah dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Pertemuan tersebut dilaksanakan tertutup di kantor Departemen Pertahanan (Dephan) dan diakhiri dengan jabat tangan tanda selesainya perang urat syaraf antara dua lembaga penting negara tersebut.
Pihak DPR yang tadinya tersinggung nampak cukup puas dengan hasil pertemuan tersebut. Namun,pernyataan Menhan tersebut mau tak mau mengangkat fenomena calo alutsista ke permukaan. Bagian manakah dari sistem ini yang salah sehingga bisa memberikan ruang gerak bagi para calo yang menggerogoti uang para pembayar pajak.
Jamak tapi Tak Terlihat
Calo adalah fenomena yang dapat kita rasakan, tetapi sulit dibuktikan secara hukum. Terlebih, calo alutsista umumnya merupakan kalangan yang paham benar tentang hukum. Fenomena ini ditingkahi pula dengan adanya rekanan nakal sehingga menciptakan suatu chemistry di antara kedua pihak yang ”bermain kotor” tersebut.
Kondisi tersebut membuat permasalahan ini makin sulit diberantas dan berpotensi untuk terus merugikan negara. Jangankan calo alutsista, bahkan untuk calo tiket yang umumnya merupakan warga biasa saja sering kali aparat Indonesia dibuat kerepotan dalam membasminya. Mekanisme percaloan adalah hal yang lumrah dalam kegiatan perekonomian. Namun, dalam konteks anggaran pemerintah kegiatan tersebut jelas membebani anggaran.
Pemborosan cenderung akan terjadi karena harga terkatrol untuk mengisi lebih banyak tangan yang menengadah menunggu limpahan keuntungan. Para calo tersebut adalah orang-orang yang sangat mahfum hukum dan mampu mencari celah untuk memanfaatkan kelemahan interpretasi hukum untuk kepentingannya.
Mereka sangat mengerti celah-celah yang terbuka pada peraturanperaturan maupun keputusankeputusan. Pola kerjanya adalah para calo yang bekerja sama dengan rekanan nakal berusaha menggolkan penawaran dari suatu kelompok usaha tertentu. Dalam usaha tersebut, dalam rangka mendapatkan marjin keuntungan yang sesuai, penyedia barang/jasa akan menaikkan harga agar tidak rugi ketika memberikan uang ke calo sebagai tanda terima kasih.Otomatis, harga yang diterima pemerintah akan semakin tinggi.
Perketat Mekanisme
Jika kita perhatikan alur pembelian alutsista (lihat grafis),tampak banyak sekali celah yang dapat dimasuki calo alutsista. Ada begitu banyak pos yang memerlukan persetujuan dan dapat dibisniskan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka pun sangat sulit untuk ditangkap karena berlindung di balik pola bisnis yang umum, yaitu kecocokan antara permintaan dan penawaran.
Kenaikan harga dibanding harga standarnya tak akan terlihat sebagai upaya untuk memberi uang kepada calo karena hanya dipandang sebagai penawaran yang terlalu tinggi saja.Rumusan sederhananya adalah take it or leave it. Jika pemerintah meloloskan penawaran dari rekanan yang berhubungan dengan calo, berarti pemerintah membayar biaya termasuk calonya. Mekanisme jelas harus diperbaiki untuk membatasi ruang gerak para calo tersebut.
Harus diciptakan mekanisme check and balances yang menjamin keterbukaan dalam tender yang dilakukan Dephan. Selama ini, masalah alutsista sering kali dikategorikan dan dianggap ada di ranah rahasia negara. Itu membuat khalayak umum maupun orang yang ingin untuk berkontribusi mengawasi anggaran akan kerepotan mengakses data.Hal tersebut berlaku untuk seluruh proyek baik yang bersifat sensitif atau tidak. Padahal, ketertutupan itu hanya cocok dalam proyek pengadaan yang sangat sensitif dan menyangkut rahasia negara yang berbahaya bila bocor ke pihak luar, misalnya dalam pengadaan alutsista pasukan khusus rahasia.
Kondisi serba tertutup tersebut nampaknya memang sudah tidak pada masanya lagi.Terlebih, era keterbukaan informasi ini rakyat sebagai pembayar pajak penopang pembangunan perlu tahu untuk uang hasil pajaknya dimanfaatkan. Keterbukaan tersebut juga merupakan bentuk pertanggungjawaban dan sesuai Peraturan Menteri Pertahanan No 06/M/VII/2006. Harus diciptakan suatu kondisi pasar yang mengarah ke arah pasar persaingan sempurna.
Kondisi pengetahuan yang mendekati titik simetris antara konsumen (Dephan & TNI),produsen (rekanan),pengawas (DPR) dengan masyarakat akan otomatis menciptakan kondisi check and balances. Calo pun akan makin sulit untuk bergerak karena informasi yang didapat masyarakat cukup banyak dan membuat masyarakat mampu mengkritik proyek pembelian alutsista yang akan dilaksanakan. Penawaran yang terlalu tinggi—karena mempertimbangkan besaran uang yang harus disetor ke calo—akan bisa ditekan.
Pangkas Alur lewat G to G
Mekanisme pembelian alutsista secara umum ada dua jenis, yaitu metode government to government (pemerintah ke pemerintah) atau G to G dan business to business (bisnis ke bisnis) atau B to B. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akan tetapi jika dibandingkan, metode G to G relatif menguntungkan pemerintah karena waktunya lebih cepat dan ada pengawasan juga dari parlemen negara produsen senjata atau jasa. Beda dengan B to B yang murni hubungan antara rekanan terpilih dalam tender.
Mekanisme ini memberikan kesempatan yang besar bagi para calo senjata untuk turut ”bermain.” Mekanisme G to G ini telah dirintis pemerintah Indonesia dengan pemerintah Rusia. Memori buruk akan kemampuan rekanan pada kasus helikopter Mi-17 yang merugikan negara sebesar USD3.345.390 (Rp30,1 miliar). Pada pengadaan empat helikopter tersebut,pemerintah menjalankan mekanisme B to B.Ternyata,rekanan yang memenangkan tender melakukan kontraprestasi. PT Putra Pobiagan Mandiri merupakan perusahaan yang tidak bonafide dan tak didukung bank penjamin dana pinjaman kredit ekspor sehingga membuat uang muka pemerintah sebesar USD 3.240.000 (Rp29,16 miliar) mengendap selama 13,5 bulan (data ICW).
Bahkan, dana tersebut tak kunjung dikirimkan ke PT Rosoboron- Export selaku agen Mi-17. Rencana pada 2008 Dephan untuk mengendalikan manajemen pengadaan barang/ jasa di lingkungannya patut disokong dan diperlakukan sebagai suatu progres ke arah perbaikan sistem.Dalam mekanisme baru ini, Dephan membuat lembaga baru bernama Dealing Management System (DMC) yang diketuai Sekjen Dephan dan Kasum TNI. Fungsi lembaga tersebut adalah mencermati rekanan dari segi bonafiditas, profesionalitas, dan rekam jejaknya. Dalam sistem yang akan diterapkan itu, Dephan tidak akan menentukan preferensinya dan menolak semua rekomendasi dari pihak manapun. (pangeran nurdin ahmad/ litbang SINDO)
Sumber : SINDO
No comments:
Post a Comment