Tuesday, October 02, 2007

Behind The Bloody September 1965 (Bagian II)

“Reaksi Suharto?”

“Dia tidak bereaksi”, kata Latief dalam pengakuannya kepada Soebandrio.

Latief juga bertemu Suharto pada 30 September 1965 menjelang tengah malam di RSPAD “Gatot Subroto”, ketika Suharto sedang menunggui anaknya, Hutomo Mandala Putra, yang ketumpahan sup panas. Saat itu Latief melaporkan rencana penculikan beberapa jenderal, yang akan dilaksanakan menjelang subuh. Itu juga tidak ditanggapi Suharto.


Mantan Tahanan Politik (Tapol) G 30 S/PKI, Kolonel Latief (tengah) bersama mantan Tapol/Napol lainnya melakukan protes menuntut pembentukan KPP HAM yang bertugas mengusut pelanggaran kejahatan kemanusiaan, politik, dan ekonomi yang telah dilakukan mantan Presiden Soeharto dengan poster "adili Soeharto sekarang" di depan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Jakarta, 16 Oktober 2002. [TEMPO/ Arie Basuki; K13A/071/2003; 20030401].

“Setelah Latief bertemu Suharto, ia lantas menemui Soepardjo dan Untung. Latief dengan berseri-seri melaporkan bahwa Suharto berada di belakang mereka” (KTG hal. 52).

Prolog G-30-S

Soebandrio memulai KTG dengan menguraikan konflik kalangan elite politik di ibukota pada paroh pertama 1960-an. Pertama-tama disebutnya tentang kebencian Amerika Serikat (AS) terhadap RI, karena PKI merupakan partai legal dan dibiarkan bergerak leluasa di Indonesia. Ketika AS sampai menghentikan bantuannya, Bung Karno di depan rapat umum justru menjawab lantang: “Go to hell with your aid! Ini dadaku mana dadamu!”.

Menghadapi situasi demikian diam-diam AS menggalang hubungan dengan faksi-faksi militer di tubuh ABRI. Saat itu ada tiga kubu politik di Indonesia. Pertama, Bung Karno yang didukung para menteri Kabinet Dwikora. Kedua, kubu TNI yang terpecah dalam faksi Letjen TNI AH Nasution dan faksi Letjen TNI Ahmad Yani. Suharto, semula termasuk kubu Nasution, tapi belakangan membangun kubunya sendiri. “CIA berada di belakang kubu Nasution,” tutur Soebandrio.

Soekarno, yang menyadari adanya faksi-faksi itu, lalu membatasi peranan Nasution. Meski Nasution tetap sebagai Kastaf ABRI, tapi Soekarno menugasi Menpangad A.Yani agar membatasi gerak Nasution. Akibatnya hubungan Yani-Nasution memburuk. Nasution malah digeser “naik”, menjadi penasihat presiden pada 1963.

Kubu ketiga ialah PKI dengan tiga juta orang anggota dan didukung 17 juta anggota ormas-ormasnya, seperti BTI, SOBSI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Ketua CC PKI D.N. Aidit ketika itu Menko Wakil Ketua MPRS.

Suharto merasa terjepit di antara kubu Nasution dan kubu Yani. Ini disebabkan oleh karena dengan dua atasannya itu ia menyimpan kisah yang tidak menyenangkan. Seperti dituturkan Soebandrio juga, Suharto pernah tersiar sebagai penyelundup beras. Dalam hal ini ia bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Konon karenanya Yani bahkan pernah menempeleng Suharto. Sedang Nasution mengusulkan, agar Suharto diseret ke pengadilan. Tapi atas usul Mayjen Gatot Subroto, Suharto diampuni dan disekolahkan ke Seskoad.

Ketika kepercayaan AS kepada Nasution meluntur — karena PKI ternyata semakin merajalela — Suharto mulai bermain. Dipanggilnya Yoga Sugama, ketika itu Dubes RI di Beograd Yugoslavia, diangkat menjadi Kepala Intelijen Kostrad (Februari 1965). Muncullah trio Suharto, Ali Moertopo dan Yoga, yang bertujuan menyabot langkah-langkah politik Presiden Soekarno, dan untuk menghancurkan PKI.

Suharto, Yoga dan Ali memang sudah lama saling berteman, yaitu ketika mereka masih di Kodam “Diponegoro”. Menurut Soebandrio, dalam percobaan kudeta 3 Juli 1946, yang dilancarkan Tan Malaka dan Partai Murba terhadap Perdana Menteri Sjahrir, Suharto yang ikut berkomplot tiba-tiba berbalik. Ditangkapnyalah penculik Sjahrir. “Ia selalu bermuka dua,” tutur Soebandrio. Taktik busuk itu juga yang ditempuh Suharto dalam G-30-S.

Melancarkan desas-desus

Ada peristiwa kecil yang dibesar-besarkan oleh faksi Suharto. Yaitu isu tentang Bung Karno sakit keras pada awal Agustus 1965, sehingga Aidit harus mendatangkan dokter ahli dari RRT. Desas-desus ini ditambah, akibat penyakitnya itu Bung Karno bisa meninggal, atau jika selamat, setidaknya menjadi lumpuh.

Peristiwa rekayasa itu lalu dianalisis. PKI, yang “yo sanak yo kadang” bagi Bung Karno, pasti akan menjadi khawatir kalau pimpinan nasional sampai jatuh ke tangan TNI AD. Menurut analisis ini, PKI lalu menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Begitulah, maka akhirnya yang terjadi ialah “G-30-S/PKI”.

Menurut Soebandrio analisis tersebut rekayasa murni kubu Suharto. Sebenarnya baik Soebandrio (ketika itu Waperdam I) maupun Leimena (ketika itu Waperdam II), cukup tahu tentang penyakit Bung Karno. “Jangan lupa, saya dan Leimena adalah dokter.” Kata Soebandrio. “Ternyata yang disebut sebagai dokter dari RRC itu tak lain dokter Cina dari Kebayoran Baru Jakarta yang dibawa Aidit. Eh, setelah diperiksa, sakit Bung Karno cuma masuk angin saja!”

Ketika Kamaruzaman alias Syam diadili, ia memperkuat dongeng Suharto itu. Syam adalah Kepala Biro Khusus CC PKI, sekaligus perwira intel TNI-AD. Syam mengaku diberitahu Aidit soal sakitnya Bung Karno, dan kemungkinan Dewan Jenderal bertindak kalau Bung Karno meninggal. Karena itu, kata Syam, Aidit lalu memerintahkan untuk mempersiapkan gerakan.

Kini saya katakan, cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar,” tulis Soebandrio. Soebandrio mengurai: mengapa PKI harus menyiapkan gerakan, pada saat mereka disayangi Bung Karno yang segar-bugar?

Jadi inti desas-desus ini, menurut Soebandrio, kubu Suharto melontarkan provokasi agar PKI terpancing mendahului memukul AD. Jika PKI memukul AD, PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian. Sebab, AD akan menyerang PKI, namun seolah-olah hanya melakukan tindakan balasan. “Ini taktik AD kubu Suharto menggulung PKI.” Soebandrio menyimpulkan.

Sumber : Mangdin Blogspot

No comments: