KRI Diponegoro dan Korvet Kelas SIGMA
Oleh : Ninok Leksono
"Tanpa diiringi dengan publisitas besar, TNI-AL menerima peralatan baru berupa kapal korvet hampir dua pekan silam. Korvet Kelas SIGMA ini merapat di Dermaga 115 Tanjung Priok Jumat 31 Agustus 2007 dan disambut oleh Panglima Komando AL Kawasan Timur Laksamana Muda Moekhlas Sidik, dan kemudian melanjutkan pelayaran ke Markas Komando Armada Timur di Surabaya" (Koran Tempo, 1/9).
Datangnya korvet yang diberi nama KRI Diponegoro dengan nomor lambung 365 ini sebenarnya peristiwa yang penting untuk dicatat. Kedatangan korvet tersebut direncanakan akan diikuti oleh tiga korvet sekelas.
Datangnya KRI Diponegoro memuncaki satu proses panjang pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) di TNI AL. Proses tersebut panjang karena kondisi negara belum kunjung berkecukupan sehingga dilema banyak bermunculan ketika TNI AL dihadapkan pada kebutuhan riil.
Memang, bagi negara yang perekonomiannya maju—seperti China atau, di sekitar kita, Singapura dan Malaysia—tampaknya enteng saja ketika harus membeli peralatan militer. China yang punya ambisi besar menjadi kekuatan utama dunia jelas ingin membangun angkatan laut perairan biru (blue water navy). Sebaliknya, negara dengan perekonomian tersendat seperti Indonesia, untuk membangun AL perairan hijau—yang lebih dangkal dari perairan biru—beratnya bukan main.
Namun, ketika umur armada kapal perang TNI AL semakin menua—ketika KRI Diponegoro akan dipilih, umur KRI Fatahilah yang merupakan kapal terbaru TNI AL sudah 25 tahun—keputusan pun harus segera dibuat. Pengadaan dua korvet dari Belanda pun kemudian diwujudkan melalui sebuah kesepakatan pada awal tahun 2004. Seperti waktu itu dijelaskan oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Adiyaman A Saputra, harga untuk dua korvet adalah 270,3 juta euro, sudah termasuk ongkos untuk pelatihan awak kapal, peralatan khusus, biaya perjalanan pergi-pulang, sertifikasi, dokumentasi, dan konten lokal yang akan dipasang di atas kapal. Dalam penjelasan lainnya, Laksamana Muda Frangky Kayhatu yang waktu itu di Fraksi TNI-Polri menyebutkan, pembelian empat korvet menelan biaya 720 juta dollar AS (Kontan, 19/1/04).
Belanda pemenangnya
Sebelum memilih galangan Royal Schelde Belanda, ada sejumlah pembuat yang berminat menjadi pemasok korvet TNI AL, seperti Hanwha Corp dari Korea Selatan yang menawarkan korvet produksi Hyundai Shipyard. Tawaran, menurut Laksda Frangky, diberikan kepada 14 perusahaan, tetapi akhirnya pilihan jatuh kepada galangan Belanda. Pilihan ini juga didukung oleh Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) walaupun pihak oposisi di Belanda sempat mengkhawatirkan penggunaan kapal setelah diserahkan nanti. Yang jelas, di tengah sedikitnya order, setiap order yang datang pastilah besar artinya bagi perusahaan dan karyawan galangan kapal.
Berita lain juga muncul dari Indonesia. Di tengah munculnya semangat memajukan industri dalam negeri, pembelian kapal dari Belanda semula akan diikuti oleh produksi lokal, dalam hal ini melalui PT PAL Surabaya. Piagam kesepakatan pun ditandatangani oleh pemimpin TNI AL waktu itu, Laksamana Bernard Kent Sondakh, dan Dirut PT PAL Adwin H Suryohadiprojo, bahkan kemudian diikuti dengan pengguntingan besi baja pertama oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto awal Oktober 2004 di Surabaya (Dispen TNI AL).
Namun, meski ada peristiwa tersebut, pihak Belanda sendiri tidak pernah secara spesifik mengatakan bahwa pembuatan korvet SIGMA selanjutnya akan dilakukan di galangan Indonesia. Hal ini dibenarkan Dirut PT PAL Adwin H Suryohadiprojo dalam penjelasan kepada penulis, Jumat (7/9). Untuk kapal ke-3 dan ke-4, tetap akan dibangun di galangan Schelde di Vlissingen-Oost yard.
Korvet SIGMA
Empat korvet kelas SIGMA TNI AL didesain menurut pendekatan SIGMA yang revolusioner. SIGMA sendiri berasal dari ship integrated geometrical modularity approach. Dalam pendekatan ini kapal dibuat secara moduler di berbagai area kapal sehingga penggunanya bisa mendapatkan fleksibilitas dengan harga lebih murah.
Korvet dilengkapi dengan peralatan tempur dan komunikasi yang dipasang pada badan (platform) yang bisa memuat 80 awak, sebuah dek helikopter besar (untuk menampung heli dengan berat maksimum 5 ton), dan propulsi diesel dengan poros ganda.
Kapal korvet seperti SIGMA menurut Dirut PT PAL memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasi laut bebas, patroli teritorial, termasuk ZEE dengan durasi tidak kurang dari 20 hari secara terus-menerus. Kapal memiliki dua fungsi, yakni fungsi militer dan fungsi nasional. Yang tercakup dalam fungsi militer adalah untuk menghadapi pesawat (anti-air warfare/AAW), untuk menghadapi kapal permukaan (anti-surface warfare/ASuW), untuk menghadapi kapal selam (anti-submarine warfare/ASW), dan untuk melancarkan perang elektronik (electronic warfare/EW), seperti mengacaukan radar musuh. Adapun fungsi nasional mencakup patroli dan pengintaian di laut, perlindungan dan penjagaan sumber daya alam, serta pencarian dan penyelamatan di laut.
Dengan kemampuan tersebut, KRI Diponegoro dan saudara-saudaranya nanti akan punya peran besar dalam upaya penegakan kedaulatan negara, menambah bobot postur pertahanan yang selama beberapa tahun terakhir banyak diragukan.
Sumber : Kompas
No comments:
Post a Comment