Tuesday, September 04, 2007

Ekranoplane Indonesia Buatan Carita



Indonesia mulai mengembangkan teknologi kapal bersayap. Solusi masalah transportasi pesisir.

Badan "pesawat" sepanjang 15 meter itu belum lagi rampung. Kedua sayap dan ekor belum terpasang. Belasan pekerja tampak sibuk menghaluskan badan pesawat yang terletak di gudang seluas lapangan bola basket di kawasan Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten.

Di sekitar pesawat, beberapa perahu berjajar memenuhi ruangan hingga ke luar gudang. Sebagian siap dikirim, ada pula yang masih dalam pembuatan. Meski kelak dilengkapi sayap dan ekor, tetap saja "pesawat" itu bernama kapal laut.

"Ini prototipe kapal bersayap yang pada kecepatan tertentu bisa melayang di atas permukaan air," kata Direktur PT Carita Boat Indonesia, Budi Suchaeri.

Carita adalah perusahaan manufaktur yang menang tender pembuatan kapal bersayap yang didanai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Budi mengatakan, kapal berpenumpang delapan orang plus empat awak itu siap diuji coba akhir tahun 2007 ini. Sebelumnya, dua bulan lalu, model RC (Remote Control) kapal bersayap ini sukses diuji coba di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat.

Jika berhasil, kapal bersayap ini akan menjadi terobosan baru wahana transportasi di Tanah Air, terutama di kawasan pesisir pulau-pulau kecil yang sulit terjangkau sarana transportasi.

Kapal bersayap atau yang lebih dikenal dengan sebutan ekranoplane, adalah kapal laut yang bisa terangkat ke udara dengan memanfaatkan efek permukaan yang rata, terutama permukaan air atau es. Kendaraan ini sudah digunakan di sejumlah negara, misalnya Australia dan Rusia.

Umumnya, kapal jenis ini digunakan untuk kebutuhan militer. Karena memanfaatkan efek permukaan, maka kendaraan ini lebih populer dengan sebutan Wing in Ground/Surface Effect (WiGE atau WiSE).

Agus MT, mechanical specialist Carita, mengatakan bahwa teknologi WiSE diilhami oleh pesawat-pesawat tempur pada perang dunia kedua. "Saat kembali ke pangkalan, pesawat itu terbang rendah untuk menghemat bahan bakar," katanya.

Dengan terbang rendah, tak lebih dari tiga meter di atas laut, sayap mendapat efek permukaan berupa tekanan angin yang besar dari bawah sehingga hanya perlu tenaga untuk mendorong pesawat saja.

Prinsipnya, WiSE memanfaatkan efek pemampatan udara permukaan yang terjadi pada benda yang terbang rendah. Efek ini dipertahankan dengan menjaga kecepatan yang disesuaikan dengan bobot dan rancangan pesawat.

Pemampatan itu terjadi karena ada perbedaan tekanan pada bagian atas dan bawah sayap. Ini merupakan dampak gerak relatif udara terhadap sayap. Namun, pada pesawat yang terbang tinggi, ada "kebocoran" pada bagian ujung sayap sehingga perlu tenaga besar untuk menjaga pesawat tetap melayang.

Pada pesawat yang terbang sangat rendah, kebocoran itu tertahan oleh permukaan air atau es sehingga daya angkat pada sayap tetap terjaga.

Dibanding pesawat, WiSE lebih ekonomis karena memakai bensin premium. Tenaga yang digunakan pun hanya separuh dari tenaga pesawat saat terbang tinggi. Sedang dibandingkan kapal laut, WiSE melesat lebih cepat, hingga 300 kilometer per jam karena tak terhalang oleh daya hambat air laut.

"Dengan kecepatan tersebut, WiSE cuma butuh 60 liter bensin per jam," kata Agus. Padahal kapal laut memerlukan 200 liter solar untuk menempuh jarak yang sarna.
Sesungguhnya, efek permukaan ini sudah dikenal sejak pesawat ditemukan. Hanya, para pilot menganggap efek ini cuma membantu proses lepas landas dan mendarat.

Baru pada 1965, perancang pesawat asal Rusia, Rotislav Alexeiev, membuat Kapal Motor berpropeler “Ekranoplan” yang dilengkapi 10 mesin turbo jet. Ini adalah kapal WiSE terbesar dengan berat 540 ton.

Kapal ini dirancang untuk pendaratan cepat pasukan dan kendaraan tempur layaknya LST pada era Perang Dingin. Setelah era Perang Dingin berlalu, Rusia terus mengembangkan teknologi WiSE untuk kepentingan sipil.

Sejumlah negara tak mau ketinggalan, seperti Amerika Serikat, Australia dan Jerman ikut membuat kapal bersayap. Amerika, melalui Boeing, bahkan telah membuat kapal bersayap yang jauh lebih besar dari Ekranoplan, yaitu Pelican. Dengan rentang sayap 153 meter dan bobot 1.200 ton, kapal bersayap ini dirancang Untuk alat angkut militer.


Boeing Pelican

Kepala Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi BPPT, Iskendar, mengatakan, teknologi ini mulai dikembangkan di Indonesia sejak tiga tahun lalu. "Ini menjadi solusi masalah transportasi di negeri kita," kata Iskendar, Pimpinan Proyek WiSE.

Awalnya, uji model melalui aerodinamika dan uji mikro dilakukan di Surabaya. Lalu pembuatan prototipe dilakukan oleh Carita di Serpong dan di galangan kapal Carita di Bojonegara, Serang, Banten.

Selain hemat tenaga, WiSE unggul dalam banyak hal. Tak perlu dermaga khusus atau bandara untuk merapat dan mendarat. Perawatannya pun jauh lebih murah dari kapal laut atau pesawat.

"Kapal prototype ini cuma memakai mesin mobil buatan Chevrolet," kata Budi. Kapal ini membuat nyaman penumpang yang mengalami mabuk laut jika naik kapal laut, juga membuat nyaman penumpang yang takut ketinggian karena cuma terbang rendah.

Penggunaan kapal berteknologi WiSE ini tentu saja menghemat ongkos yang harus dikeluarkan penumpang dan waktu tempuh lebih cepat.

Dengan kecepatan melebihi 300 kilometer per jam, kapal bersayap bisa menjadi penghubung pulau-pulau terpencil atau kota-kota di pesisir yang sulit dijangkau transportasi darat. Menurut Budi, kapal WiSE yang pembuatannya juga melibatkan pakar aerodinamika Institut Teknologi Bandung ini memakai material komposit sehingga lebih ringan.

Pembuatan prototipe ini menguras dana sekitar Rp 10 miliar. Tapi, jika sudah diproduksi massal, harga jualnya bisa ditekan menjadi Rp 4 miliar per unitnya. Jauh lebih murah dari pesawat Cessna Caravan 14 penumpang yang dijual US$ 1,2 juta (Rp 11,2 miliar). AdekMedia/Tempo

No comments: