Thursday, November 22, 2007

Peran Broker Senjata Belum Bisa Diambil Alih

Jakarta, Kompas - Kebijakan baru pemerintah— dalam hal ini Departemen Keuangan—untuk mengambil alih proses penentuan kreditor semua perjanjian utang baru, khususnya terkait proses pengadaan senjata, dengan tujuan menghapus keberadaan rekanan perantara atau broker, masih diragukan.

Presiden Direktur PT Novanindro International Soeryo Goeritno, salah seorang pengusaha bidang perdagangan dan pengadaan senjata buatan Rusia, Rabu (21/11), menyatakan menyambut baik langkah pemerintah itu sepanjang hal tersebut memang dilakukan untuk menghilangkan beban anggaran negara akibat mark up harga oleh sejumlah broker bermasalah.

"Akan tetapi, apakah pemerintah juga sudah siap dengan konsekuensi pengambilalihan itu? Saya tidak menyangkal, setiap broker memang mengambil keuntungan dalam bentuk ongkos (fee) dari setiap transaksi. Memang ada pihak broker ’nakal’, yang mengutip fee terlalu tinggi atau malah menaikkan (mark up) harga," ujar Soeryo.

Akan tetapi, lanjut Soeryo, tidak bisa pula disangkal kalau selama ini justru pihak perantara pulalah yang harus menanggung berbagai beban pembiayaan untuk seluruh proses pengadaan senjata tadi, yang tentunya kemudian akan dimasukkan lagi ke dalam perhitungan penentuan keuntungan yang akan diperoleh.

Kuncinya transparansi

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Global Civil Society Studies FISIP Universitas Indonesia Andi Widjojanto menilai, pemerintah seharusnya lebih memfokuskan diri pada upaya mentransparankan proses pengadaan senjata, termasuk soal keterlibatan rekanan, daripada mencoba mengambil alih seluruh prosesnya seperti sekarang.

Selama ini, menurut Andi, memang telah terjadi penyimpangan persepsi yang mengonotasikan negatif keberadaan broker senjata, seperti terkait mark up harga dan suap, sementara tren perdagangan senjata di dunia justru melibatkan jasa perusahaan perantara itu. Praktik seperti itu di dunia internasional, menurut dia, normal terjadi.

Rencana Depkeu, menurut Andi, hanya akan membuat pemerintah berhadap-hadapan langsung dengan para produsen senjata internasional, sementara kemampuan pemerintah sendiri masih diragukan untuk itu.

Pemerintah, dinilai Andi, masih belum siap untuk mengambil alih seluruh peran swasta yang selama ini dilakukan oleh broker, seperti menjadi negosiator, pencari dana talangan (kreditor), pelobi, dan banyak lagi. Adapun negara lain lebih memilih melibatkan pihak luar daripada menambah beban kerja atau birokrasi baru seperti itu.

Meski begitu, Andi memaklumi, langkah-langkah yang diambil pemerintah sekarang ini, baik oleh Depkeu maupun oleh Dephan, dengan kebijakan pengadaan satu pintu lewat badan Dealing Management Center (DMC)-nya, bertujuan memangkas dan memutus mata rantai broker terutama yang bermasalah dalam proses pengadaan senjata. (DWA)

Sumber : KOMPAS

No comments: