Monday, July 16, 2007

Negara Kepulauan, Ini Lautku



Oleh : B Josie Susilo Hardianto dan Ferry Santoso

Dari ketinggian sekitar 15.000 kaki, Area Bravo laksana hamparan karpet biru. Cahaya matahari bagai kerlip berlian saat terpantul riak gelombang. Bayang gelap pulau-pulau terluar memantul memanjang di permukaan laut yang tampak memutih. Dari balik bayang gelap tersebut tampak gubuk-gubuk nelayan yang berjajar di bibir pantai.

Malam masih muda ketika kami melintasi perairan antara Kepulauan Anambas dan Natuna. Saat itu gelombang laut tidak terlalu tinggi, kapal milik Angkatan Darat melaju dengan tenang di permukaannya.

Dari anjungan kapal tampak nyala api dari rig eksplorasi sumur-sumur minyak yang banyak tersebar di kawasan perairan itu. Semburannya bagai hendak menjilati angkasa.

Ke arah timur, tampak barisan kapal-kapal nelayan jaring apung berlayar beriring-iringan. Lampu-lampu sorot yang berada di atas ruang kemudi menyala terang benderang mengundang ikan datang berkumpul.

Pada musim panen, umumnya mereka memperoleh hasil hingga 30 ton bahkan 40 ton ikan segar. Tak jarang, ketika musim sotong tiba, dalam sekali tarik, jaring mereka meraup lebih dari satu ton sotong segar. Sebuah anugerah luar biasa bagi negara yang dikaruniai laut yang luas dan kaya sumber alam seperti ikan, mineral, minyak, dan gas alam.

Dalam kunjungan serupa tahun lalu, kapal Angkatan Darat yang Kompas tumpangi tengah mengirim empat meriam penangkis serangan udara yang bakal diletakkan di Natuna. Pengiriman meriam-meriam buatan Rusia itu merupakan bagian dari kebijakan mengamankan pulau-pulau terluar Indonesia setelah krisis Ambalat, meskipun di sisi lain para prajurit yang bertugas mengoperasikan meriam mengakui efektivitas penggelaran senjata itu dinilai kurang mencukupi.

Alasannya, meriam itu merupakan meriam buatan tahun 1960-an yang tentu kurang memadai jika harus menghadapi jet-jet tempur negara tetangga. Namun, para prajurit itu punya keyakinan bahwa dengan cara tertentu mereka masih mampu meredamnya.

"Ini adalah negara kita yang harus kita pertahankan dengan cara apa pun. Dulu kita pun berani berjuang meski hanya membawa bambu runcing," kata prajurit itu.

Selengkapnya

No comments: