Wawancara dengan KSAU tentang Helikopter AW-101
20 Februari 2017
Tampak muka helikopter AW-101 TNI AU (photo : Jitunews)
KSAU Hadi Tjahjanto: Heli Angkut Berat Adalah Keharusan, Bukan Lagi Kebutuhan
Usia helikopter yang dimiliki TNI AU saat ini sudah tua. Pada tujuh skuadron tempur yang ada di Indonesia, masing-masing butuh satu helikopter SAR. Selama ini di-back up heli kecil yang tak memenuhi syarat. Dalam konteks inilah, TNI AU merencanakan pengadaan heli angkut berat, AgustaWestland (AW) 101.
Masalahnya pengadaan helikopter ini belakangan memicu polemik. Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saling mengaku tidak tahu tentang pembelian helikopter.
Kepala Staf Angkata Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto muncul sebagai perwira yang memberi kejelasan tentang status helikopter AW 101 yang terparkir di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, kemarin. Demi meluruskan dan memberi kejelasan, Hadi pun membentuk tim investigasi internal TNI AU.
Terlepas dari benar-tidaknya proses pengadaan AW 101 kemarin, Hadi mengakui bahwa TNI AU memang membutuhkan armada helikopter angkut berat untuk menunjang operasional skadron tempurnya. “Minimal, tiap ada pesawat tempur yang terbang, ada helikopter SAR yang standby,” kata Hadi ketika ditemui GATRA di kantornya, di Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa kemarin.
Berikut ini adalah wawancara Hadi Tjahjanto dengan Hidayat Gunadi, Cavin R. Manuputty, Anthony Djafar, dan pewarta foto Ardi Widi Yansyah dari GATRA:
Seperti apa proses pengadaan helikopter AW 101 ini?
Sesuai dengan postur TNI, kita memerlukan 4 skuadron heli angkut berat. Rencana strategis (Renstra) pertahanan tahap 2 (2014-2019) akan merealisasikan postur kebutuhan heli itu. 6 unit angkut ditambah 4 untuk VVIP. Jadi total jumlahnya 10 unit heli.
Memangnya ada apa dengan persediaan heli kita saat ini?
Yang kita punya itu buatan tahun 1978-1980an. Contohnya Puma. Ada juga buatan yang agak baru, yaitu Super Puma. Tapi bermasalah di suku cadang. Gearbox dan lainnya.
Tampak belakang helikopter AW-101 TNI AU (photo : Detik)
Apakah heli VVIP yang dipakai Presiden itu juga buatan tahun 1980an?
VVIP itu pakai Super Puma tahun 2001. Itu sebabnya dalam Renstra ini kita minta tambahan. 6 pesawat angkut berat, dan 4 VVIP karena sudah tua.
Enam heli angkut berat itu sendiri rencananya ditempatkan di mana?
Sebenarnya syaratnya adalah satu heli SAR untuk setiap skadron tempur. Saat ini kita punya tujuh skadron tempur. Jadi setiap ada pesawat tempur yang terbang, harus ada satu heli yang standby untuk SAR. Karena masih belum mencukupi syarat, kita sekarang dibackup oleh heli kecil Kolibri. Itu sebenarnya tidak memenuhi syarat. Karena tidak bisa untuk mengambil korban dalam misi penyelamatan. Tidak ada hoist atau slang. Oleh sebab itu, keinginan kita kebutuhan ini segera dipenuhi.
Anda sempat menyebut, pengadaan Agusta ini ada hubungannya dengan India?
Di India memang ada masalah internal dengan merek yang sama ini. Mereka memutuskan tidak jadi beli. Ternyata dampaknya ke Indonesia.
Mengapa berdampak kesini?
Yang jelas, jangan sampai kita seperti India. Sehingga pada 2015 pemerintah memutuskan untuk tidak beli [AW 101]. karena memang ada tekanan dari media juga. waktu itu pemerintah memutuskan 2015 itu untuk tidak beli, karena memang tekanan dari media
Semua pesanan AW 101 dibatalkan?
Khusus pada waktu itu, pemesanan untuk VVIP saja. Tapi untuk enam pesawat angkut itu belum dilaksanakan pengajuan usulan permintaan (UP).
Uji terbang helikopter AW-101 TNI AU (photo : Riviera)
Lalu mengapa AW 101 kemarin tetap datang ke Indonesia?
Januari 2016 itu uangnya sudah ada, tapi karena pemerintah menghentikan, jadi anggarannya diberi tanda bintang di Dirjen Anggaran. Tidak bisa dicairkan. Nah, kepala staf TNI AU yang lalu berpikir, kita masih punya kepentingan. Ada kebutuhan yang sangat mendesak. Sehingga KSAU pada waktu itu mengajukan perubahan spesifikasi, dari VVIP menjadi heli angkut berat. Di situlah saya membentuk tim investigasi untuk melihat alirannya.
Sejauh ini, seperti apa alur perubahannya?
KSAU mengirim surat kepada Menteri Pertahanan untuk ijin mengganti spesifikasi. Kemudian, KSAU juga bersurat kepada Dirjen anggaran untuk mengganti spesifikasi dari VVIP menjadi angkut. Kemudian ditindaklanjuti surat itu oleh kementerian pertahanan kepada dirjen anggaran untuk rapat mengubah spek. Waktu itu ada perwakilan dari beberapa instansi terkait untuk melepas tanda bintang. Setelah lepas, proses dimulai lagi dari UP.
Artinya, proses penganggaran ini sebetulnya semua tahu dan terlibat di sesi terakhir?
Tahu, tahu
Apakah mungkin ada salah satu yang luput? Mabes TNI misalnya?
Enggak [ada]. Karena dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) ada lampiran yang tentu semuanya tahu. Yang jelas, yang tahu banget pengadaan ini adalah Kementerian Pertahanan sebagai pembina kekuatan dan pemberi kebijakan.
Tim investigasi ini sekarang akan fokus ke tahapan apa saja?
Saya akan menginvestigasi proses perencanaan sampai proses pengadaan. Proses perencanaan itu sudah mulai dari dokumen perubahan dari VVIP menjadi angkut, sampai pada kontrak. Dan sejauh ini, itu sudah memenuhi [SOP] karena tidak sepihak. Melibatkan banyak pihak. Apalagi untuk menghilangkan tanda bintang.
Kelas helikopter AW-101 menurut pabrikannya, AgustaWestland (photo : Defense Studies)
Jadi sampai saat ini tidak ada temuan istimewa?
Sampai saat ini tidak ada temuan istimewa. Saya hanya melihat dari dokumennya saja
Status heli ini sendiri sudah terbayar atau belum?
Kalau melihat dari yang saya sampaikan tadi, kontrak sampai datang tanggal 27 Januari 2016 itu artinya itu pesawat sudah dibayar penuh.
Apakah US$ 55 juta tidak kemahalan?
Dari segi harga, saya kira itu udah bagus. Karena ada paket pelatihan, pemeliharaan sekian tahun, kemudian ada paket tools kit, dan lainnya.
Walaupun sudah dibayar, apakah bisa dibatalkan juga seperti di India? Atau mungkin helinya dikembalikan?
Kita kalau lihat India, India pembeliannya adalah G to G. Kalau kita G to B, pemerintah langsung pada Leonardo (induk perusahaan AgustaWestland). Kita langsung kepada prinsipal. Itu yang agak sulit. Jadi saya mengamankan aset negara yang sudah dikeluarkan. Itu Rp 740 milyar sekian uang rakyat.
Dengan adanya garis polisi ini, apakah garansinya bisa tidak berlaku?
Nah itu. Warranty itu ada jatuh temponya. Jangan sampai jatuh tempo.
Helikopter AW-101 TNI AU (photo : Fighter Control)
Kapan jatuh temponya?
Tanggal 20 Februari nanti.
Lalu bagaimana kalau ternyata terlewat?
Garansi mesin dan spare partnya hangus. Makanya saya katakan, helikopter itu harus tetap kita gunakan. Tapi juga tidak mengabaikan bila proses perencanaan itu ada kekeliruan. Kita jalan seiring.
Rugi bandar dong?
Kita kan tidak ingin rugi bandar. Saya juga berpikir untuk menyelamatkan uang negara.
Bila yang satu ini saja bermasalah, bagaimana rencana kelanjutan pengadaan heli angkut berat sisanya?
Yang enam alat angkut sisanya itu tetap diproses. Statement saya adalah selalu mendukung pemerintah. Jadi sisanya itu kita tawarkan kepada industri pertahanan dalam negeri.
Maksudnya?
Kan kita punya PTDI. Melalui KKIP kemudian PTDI, bisa untuk mengadakan pesawat angkut itu. Atau joint production dengan negara lain. Kita bisa minta PTDI. Tapi kita menyampaikan bahwa spesifikasi saya adalah angkut berat. Karya saya cuma bisa menyampaikan usulan pengadaan dan operational requirement kepada Kemhan. Nanti mereka lah yang akan menentukan. Entah nanti jatuhnya Agusta atau apa, yang penting spesifikasinya sesuai. Hal itu akan saya sampaikan dalam Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) di Kemhan. Kalau tidak sesuai, ya saya tolak.
Apabila produksi dalam negeri tidak bisa, ya KKIP akan menghitung beli dari luar negeri. Kami libatkan semuanya. Yang penting, saya perlu helikopter. Karena skadron saya buth helikopter. Waktu pengirimannya pun harus tepat. Karena saya tidak bisa operasi tanpa heli, jumlahnya pun harus sesuai.
Helikopter EC-725 Caracal TNI AU (photo : Jeff Prananda)
Jadi pada akhirnya nanti kita akan punya tujuh heli angkut berat?
Iya, VVIP belum kita pikirkan lagi.
Bagaimana ceritanya sehingga Panglima dan Menhan sempat saling mengaku tidak tahu tentang pengadaan heli ini?
Ya sebenarnya yang disampaikan Menhan atau Panglima itu bukan di rapat dengan DPR, tapi di luar ruangan. Lagipula kemarin itu bukam membahas heli. Melainkan program kerja.
Bahwa memang kebutuhan heli itu ada ya ?
Sangat
Mengapa tidak pesan yang bisa dibikin oleh PTDI?
EC725 Super Puma ini kita setting untuk heli tempur SAR. Ini pesan 6 unit dari 2012. Baru datang dua unit di 2016. itupun masih dalam kondisi belum bisa operasional. Padahal kita keperluannya kan segera. Makanya saya akan buka komunikasi dengan PTDI. Supaya kita bisa carikan solusi.
Bukankah makin banyak varian, malah makin repot dan mahal perawatannya?
Berdasarkan pengalaman personil, mereka memang sudah terbiasa memelihara varian super puma. Pilot juga demikian. Tapi tentu ada alasan untuk bisa menggunakan Agusta. Karena memang dari spesifikasi itu sudah beda. Dari segi mesin, dia punya 3 engine. Puma 2 engine. Lalu Agusta lebih stabil karena ada wingtip di rotornya. Penumpangnya pun bisa lebih banyak. Sampai 50 orang. Dan punya ramp door. Meski pintu itu lebih mahal, tapi lebih mudah dan cocok jadi pesawat angkut.
EASA (Badan Keselamatan Penerbangan Eropa) pernah memberikan larangan terbang untuk Super Puma versi sipil karena permasalahan gearbox, namun larangan ini telah dicabut tanggal 7 Oktober 2016 (image : : EASA)
Lalu bagaimana dengan transfer teknologinya?
Itu saya serahkan kepada KKIP, biar mereka kalkulasi sendiri.
Jadi nanti siapa yang putuskan apa yang dibeli?
Panglima TNI secara organisasi. Tapi secara anggaran di Kemhan.
Mengapa Basarnas bisa beli Agusta tanpa kerepotan ini?
Mereka kan kebutuhan sipil, tidak melalui KKIP. Mereka juga tidak dibatasi aturan terkait industri pertahanan.
Mengapa TNI AU atau bahkan Presiden masih mau mengoperasikan Super Puma, padahal di-grounded dimana-mana?
Sewaktu saya di Sekretaris Militer Presiden, saya sendiri yang mengoperasikan pesawatnya. Saya minta service buletin, rutin, dan saya punya hotline langsung ke Eurocopter.
Mengapa harus beli empat heli VVIP?
Setiap penerbangan itu standarnya tiga heli. Pertama untuk presiden, ke dua untuk cadangan, ke tiga untuk perangkat seperti paspampres. Yang ke empat itu untuk sirkulasi, pengganti sewaktu-waktu dari yang tiga tadi. Tapi sekarang, presiden sering terbang pakai pesawat yang bukan VVIP. Kadang pakai Bell 412 punya angkatan darat atau angkatan laut. Kita negara besar. Menurut saya, Presiden harus menggunakan pesawat yang lebih aman. Bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan. Kalau bisa pengadaan heli ini jangan diundur lagi. Saya dalam kondisi bahaya untuk menjaga pesawat-pesawat tempur saya. Karena setiap mereka terbang, harus ada helikopter yang standby di situ.
(GatraNews)
Militer Indonesia
No comments:
Post a Comment