Alutsista TNI (1), Dipertahankan Terlalu Tua, Dibuang Sayang
Oleh : Wisnu Dewabrata
Optimisme boleh jadi saat ini tengah muncul kembali di tubuh angkatan bersenjata kita. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu yang nyaris berdekatan terjadi dua peristiwa penting, yang paling tidak bisa diterjemahkan sebagai sinyal "perbaikan nasib" bagi kondisi persenjataan milik Tentara Nasional Indonesia atau TNI.
Akhir Agustus lalu, satu kapal perang korvet jenis SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) pesanan TNI Angkatan Laut dari galangan Royal Schelde, Belanda, tiba dan berlabuh di Dermaga 115 Tanjung Priok, Jakarta.
Kapal perang yang dinamai KRI Diponegoro dengan nomor lambung 365 itu adalah satu dari empat kapal perang sekelas yang dipesan sesuai rencana strategis TNI AL 2003-2013.
Peristiwa menggembirakan selanjutnya selang seminggu kemudian ketika Presiden Rusia Vladimir Putin datang melawat ke Jakarta dan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak sekadar berkunjung, kedatangan Putin sekaligus juga memperkuat sejumlah komitmen kerja sama antarkedua negara, termasuk soal pengadaan persenjataan bagi Indonesia.
Seperti diwartakan, Pemerintah Rusia sebelumnya berkomitmen mengucurkan dana segar senilai satu miliar dollar Amerika Serikat (AS) berbentuk pinjaman negara (state credit) yang akan dipakai membeli sejumlah senjata produksi negara Beruang Merah tadi.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertahanan, menyatakan, pengadaan senjata melalui Rusia dilakukan demi mengurangi adanya ketergantungan pada blok negara tertentu, seperti Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa Barat, yang sering kali menetapkan banyak embel-embel dalam proses penjualan senjata produksi mereka.
"Rusia tidak terlalu banyak menetapkan syarat dan pembatasan dalam mengakses atau memanfaatkan teknologi yang mereka punya, seperti dilakukan negara-negara Barat. Selain itu, akses teknologi Rusia juga jauh lebih cepat, mudah, dan longgar," ujar Juwono kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Dalam "daftar belanja" yang dibuatnya, Departemen Pertahanan menetapkan akan membeli sejumlah persenjataan, seperti 10 helikopter MI-17-V5 dan 5 helikopter MI-35P untuk TNI Angkatan Darat, 2 kapal selam Kelas Kilo, dan 20 kendaraan infanteri tempur BMP-3F untuk TNI Angkatan Laut.
Sementara untuk TNI Angkatan Udara, pemerintah juga akan membeli enam paket peralatan avionik dan persenjataan Sukhoi, dari bagian alokasi kredit ekspor (KE) satu miliar dollar AS tadi. Sebelumnya juga sudah dianggarkan dana 350 juta dollar AS dari KE tahun 2004-2009 untuk membeli enam pesawat Sukhoi.
Dengan pengadaan baru itu, setidaknya satu skuadron tempur pesawat Sukhoi TNI AU nanti akan bertambah menjadi 10 pesawat dari empat pesawat sebelumnya, yang bahkan tidak dipersenjatai. Keempat pesawat Sukhoi itu selama ini ditempatkan di Skuadron Udara 11, Makassar.
Walau memang belum bisa dibilang dapat berpengaruh secara signifikan, penambahan alat utama sistem persenjataan (alutsista) kali ini setidaknya diharapkan bisa sedikit meningkatkan rasa percaya diri atau bahkan mudah-mudahan dapat menambah kemampuan efek penangkal (deterrent effect) kekuatan angkatan bersenjata kita di mata negara lain.
Jadi, jika kita berpikir optimistis seperti itu, penambahan jumlah persenjataan kali ini terbilang sudah cukup lumayan. Apalagi mengingat selama ini TNI memang berada dalam kondisi serba terbatas.
Keterbatasan mulai dari segi ketersediaan alokasi anggaran dari pemerintah yang memang minim hingga keberadaan senjata yang memang kebanyakan sudah berusia tua dan malah ketinggalan zaman (out of date), terutama jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi persenjataan dunia saat ini.
Saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Dephan Marsekal Muda Slamet Prihatino membenarkan hal itu. Menurut dia, sejumlah senjata yang dipakai sampai sekarang bahkan ada yang sudah berusia di atas 40 tahun dengan tingkat kesiapan rata-rata di bawah 40 persen.
Dari data yang diperoleh Kompas, diketahui sejumlah persenjataan yang sampai sekarang masih dipakai di TNI Angkatan Darat, misalnya, bahkan sudah ada dan diproduksi sejak akhir tahun 1950-an.
Beberapa persenjataan itu seperti kendaraan tempur jenis Saracen (1957) dan Ferret (1959) buatan Inggris, tank AMX-13 buatan Perancis (1958), atau senjata berat artileri medan Kal 76 mm M-48 B-1 buatan tahun 1958.
"Bayangkan saja, Angkatan Darat itu masih memakai panser Saladin buatan Inggris tahun 1960. Padahal, kalau dioperasikan, dua liter bahan bakar itu hanya cukup untuk menggerakkan panser itu sejauh satu kilometer. Sama sekali tidak efektif lagi," ujar Slamet.
Kondisi serupa terjadi di matra angkatan lain, seperti TNI Angkatan Udara. Sejumlah pesawat, seperti OV-10 Bronco, bisa dibilang nyaris melampaui batas usia pakainya. Rata-rata usia terbang pesawat itu, menurut Slamet, sudah di atas 6.000 jam terbang. Padahal, kisaran angka itu setara dengan batas usia jam terbang pesawat tadi.
Dengan keterbatasan alokasi anggaran yang ada sampai saat ini, memang bukan perkara gampang bagi pemerintah untuk dapat membangun kekuatan pertahanan TNI yang ideal atau bahkan sekadar untuk mencukupi kekuatan pertahanan minimal, seperti menjadi kebijakan pemerintah saat ini.
No comments:
Post a Comment